Pages - Menu

Sabtu, 08 Agustus 2009

Evaluasi Makro Pendidikan Nasional

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia menempatkan pendidikan dalam prioritas arah pembangunan. Ini sejalan dengan apa yang digariskan para founding father dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut HAR. Tilaar, bangsa yang cerdas adalah bangsa yang percaya akan kemampuan diri sendiri dalam mengeksploitasi kekayaan alam dan kekayaan budaya Indonesia. Kekayaan alam dan kekayaan budaya Indonesia tersebut haruslah sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Ini bukan berarti pendidikan nasional mengasingkan diri dari perubahan global. Karena secara utuh misi bangsa dalam pembukaan UUD 1945 juga menuntut adanya partisipasi dalam menjaga ketertiban dunia.
Semangat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, diatur dengan gamblan dalam UUD 1945 pasal 31. Ada lima point penting dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional yang diatur dalam pasal 31. Pertama, adanya hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Kedua, kewajiban pemerintah dalam membiayai pendidikan. Ketiga, pemerintah menyelenggarakan system pendidikan nasional yang sesuai dengan undang-undang. Keempat, kewajiban pemerintah dalam mengalokasikan anggaran 20% anggaran untuk pendidikan. Kelima, pemerintah memajukan IPTEK untuk kemajuan peradaban dan umat. Ini sangat jelas menggambarkan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara indonesia, dan pemerintah wajib memenuhinya.
Optimisme terwujudnya bangsa yang cerdas sangat jelas tergambar dalam pasal 31. Namun, optimisme ini akan sirna saat melihat beberapa kebijakan mendasar arah pembangunan pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional yang seharusnya mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan serta adany pendidikan na relevansi dan efisiensi menejemen sistem pendidikan nasional, nyata-nyatanya tidak mampu mewujudkan akses serta mutu pendidikan yang baik. Dan, inilah permasalahan mendasar pendidikan nasional “akses dan mutu”.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak mampu mengejawantahkan dengan baik orientasi pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini jelas dapat dilihat dari beberapa kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan orientasi pendidikan nasional dan bersumber dari UU tersebut. Dilihat dari pengertian pendidikan yaitu sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekeuatan spiritual, dan lain-lain. Ini jelas mengaburkan makna pendidikan sebagai upaya pembebasan dan pembudayaan, seperti yang dikonsep oleh bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Selain itu, pengertian pendidikan yang dimaksudkan jelas mengkerdilkan peran pendidik “guru”. Pendidik diposisikan hanya sebagai fasilitator jalannya proses pembelajaran, tidak lagi menjadi tauladan.
Perlu mendapat cacatan salah satu misi pembangunan yaitu peningkatan daya saing bangsa, dalam UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2005-2025. Paradigma daya saing muncul dari teori ekonomi Adam Smith Dalam bukunya “An Inquiry into the Nature and the Courses of the Wealth of Nation (1776)”. Teori ini memandang manusia sebagai homo ekonomikus yang terus menerus mengejar kepentingannya sendiri dan mencari kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa yang dimilikinya. Ini akan memunculkan manusia yang egosentris dan individualistis. Ini jelas bertentangan dengan karakter yang akan dibentuk dalam proses pendidikan sesuai dengan pasal 3 UU Sisdiknas. Karakter yang ingin debentuk melalui proses pendidikan adalah peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pendidikan sebagai upaya membentuk karakter yang bangsa, haruslah mengedepankan independensi. Kewajiban negara dalam membiayai pendidikan harus ditunaikan. Peraturan Presiden No.77 Tahun 2007 mengenai pendidikan sebagai sektor yang dapat dimasuki penanaman modal asing. Peraturan tersebut pada dasarnya menjadikan pendidikan sebagai komoditi perdagangan. Masuknya modal asing akan membawa efek masuknya sistem pendidikan asing. Ini jelas mengancam tujuan pendidikan nasional, utnuk itu Peraturan Presiden No.77 Tahun 2007 mutlak harus dicabut.
Tanggung jawab pemerintah dalam menjamin akses pendidikan dikaburkan dengan adanya kebijakan UU No. 9 Tahun 2009 mengenai Badan Hukum Pendidikan. Ini jelas merupakan liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan akan mengakibatkan pendidikan biaya tinggi. Pendidikan akan menjadi mahal dan jelas akan semakin sulit dijangkau rakyat miskin. Walaupun disebutkan adanya kewajiban tiap satuan pendidikan untuk member jatah 20% bagi masyarakat miskin. BHP mengakibatkan pendidikan hanya akan bias dijangkau oleh orang-orang kaya saja. Ini jelas menjadikan pendidikan bersifat elitis, karena menjauhkan kesempatan orang miskin untuk bisa menikmati.
Mutu pendidikan sejalan dengan kualitas pendidiknya. Pendidik mempunyai peran central dalam terwujudnya pendidikan yang bermutu. Kualitas guru sampai hari ini masih cukup memprihatinkan, ini sejalan dengan kualitas pendidikan nasional yang masih rendah. Pendidik professional menurut UU Guru dan Dosen mempunyai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogic, profesional, kepribadian, dan sosial. Program sertifikasi guru belum mampu meningkatkan kualitas guru-guru. Sertivikasi sebatas hanya mampu meningkatkan kesejahteraan guru saja. Kualitas lembaga pencetak pendidik juga perlu diperhatikan dalam meningkatkan kualitas guru. Transformasi LPTK menjadi Universitas harus diperhatikan. Idealnya, keluasan yang diberikan dalam mengembangkan ilmu-ilmu murni yang akan menyokong praksis pendidikan.
Ujian Nasonal (UN) merupakan sebuah masalah dalam pendidikan nasional, walaupun ini merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Otonomi tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada KTSP menjadi seolah tidak berguna karena system evaluasi yang digunakan terpusat. UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan telah melahirkan budaya menghafal. Akhirnya pendidikan tidak mampu membangun karakter manusia Indonesia yang diharapkan. Selain pada hal-hal yang sifatnya substantif, UN juga telah memunculkan masalah-masalah teknis dalam pelaksanaanya, seperti: kebocoran soal dan kecurangan. Untuk itu, UN mutlak untuk dihapus sebagai salah satu indikator penentu kelulusan.
Anggaran juga menjadi salah satu faktor dalam mempengaruhi mutu dan akses pendidikan. Alokasi 20% anggaran pendidikan merupakan semangat pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, penelikungan anggaran 20% dengan memasukkan gaji guru di dalamnya merupakan sebuah bentuk pengingkaran semangat peningkatan mutu dan akses pendidikan. Karena secara prosentase gaji guru memakan lebih dari 50% dari keseluruhan angggaran pendidikan. Anggaran 20% tersebut seyogianya bisa untuk membangun laboratorium yang baik, menyediakan media pembelajaran, perpustakaan, dan fasilitas lain yang mendukung pendidikan.
Dapat disimpulkan, pendidikan nasional belum mampu mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini harus mendapat perhatian yang serius dari pemegang kebijakan “pemerintah”. Karena kualitas pendidikan sekarang adalah cerminan bangsa masa depan. Masalah mendasar pendidikan nasional yang harus segera disikapi adalah BHP, UN, 20% anggaran, Perpres No. 77 tahun2007 dan profesionalisme guru.
KAJIAN-KAJIAN SPESIFIK
1.Badan Hukum Pendidikan
Pendidikan merupakan penentu peradaban. Ia tidak bisa terpisah dari kehidupan setiap umat manusia termasuk bangsa Indonesia (Driyarkara, 1980:32). Ialah yang akan mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas sesuai dengan tujuan didirikannya negeri ini. Untuk itu, pendidikan haruslah menjadi perhatian utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.dan menjadi acuan dalam pengambilan setiap kebijakan di negeri ini.
Negara-negara yang telah sadar akan pentingnya pendidikan mengambil tindakan: memberikan perhatian utama pada bidang ini di negerinya dan/atau memanfaatkan pentingnya pendidikan ini untuk memasukkan ideology mereka atau untuk menghancurkan Negara lain kemudian menguasainya. Tindakan terakhir yang nampaknya ditunjukkan oleh Negara-negara kapitalis terhadap Indonesia. Hal ini karena Indonesialah yang bersedia menerapkan liberalisasi khususnya di bidang pendidikan di saat ideology kapitalis berada di ambang kehancuran.
Amerika latin telah mengambil kebijakan untuk mengelola kekayaan negerinya sendiri tanpa campur tangan para korporat. Mereka memahami betul kehancuran ideology kapitalisme sehingga perlu memutus hubungan dengan Negara-negara kalitalis. Ternyata mereka mengakui bahwa ide untuk menjadi mandiri pada dasarnya berasal dari Indonesia. Akan tetapi, pada saat ini, Indonesialah Negara yang terang-terangan menawarkan liberalisasinya bahkan dalam dunia pendidikannya. Pada bulan Desember 2005, dalam perundingan WTO di Hong Kong, Pemerintah Indonesia menawarkan liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan dan teknik, pendidikan tinggi kejuruan dan teknik, dan pendidikan tinggi. Penawaran ini merupakan konsekuensi dari Pasal 65 UU Sisdiknas yang menganut asas globalisasi pendidikan. General Agreement of Trade in Services (GATS) yang merupakan lanjutan pelaksanaan dari UU No. 7 Tahun 1994 juga menetapkan pendidikan sebagai industri jasa yang bebas dari intervensi pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dalam perjanjian tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan budaya yang nirlaba, tetapi adalah salah satu industri jasa atau komoditi ekonomi. Apa jadinya bangsa ini jikalau pendidikan dijadikan sebagai komoditas jasa? Untuk itu, kita harus memutus mata rantai legalitas liberalisasi di Indonesia
Secara filosofis, UU BHP jelas-jelas bertentangan dengan filosofi pendidikan di Indonesia. Dari keseluruhan pasal khususnya pasal 56 s.d 59 UU BHP sangat diwarnai dengan pola pikir korporasi, perusahaan. Lembaga pendidikan dianggap bak perusahaan yang mencetak peserta didiknya ibarat barang yang siap diperjualbelikan. Maka UU BHP ini merupakan pengkhianatan terhadap tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pola pikir perusahaan tersebut, pendidikan hanya akan mencetak generasi bangsa ini seperti robot yang tidak memiliki kehendak pribadi. Bahkan tidak akan mampu mengenal negerinya sendiri.
Dengan diterapkannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember ini akan mewarnai seluruh proses pendidikan di negeri ini dengan jiwa kompetisi. Hal ini sangat tidak sesuai dengan karakter bangsa kita. Kompetisi berarti menganggap orang lain sebagai saingan dan musuh yang harus ditumbangkan demi dirinya yang nomor satu. Hal ini sangat bertentangan dengan karakter bangsa kita yang sejak awal meyakini bahwa kehidupan yang sinergis adalah kehidupan yang sesuai dengan hakekat manusia dan akan membawa pada kebahagiaan. Bangsa Indonesia sejak awal mengenal gotong royong sebagai karakter bangsa ini. Dan tidak akan ada lagi ketika kehidupan bangsa ini telah diliputi oleh budaya kompetisi.
Pola pikir perusahaan juga terlihat dalam penggunaan pendidik dan tenaga kependidikan seperti dalam BAB VIII. Pendidik dan tenaga kependidikan akan disamakan dengan buruh pabrik yang bekerja atas dasar kontrak kerja dengan pemimpin organ pengelola BHP. Dengan demikian, nasib pendidik di Indonesia semakin tidak jelas. Bagaimana mereka dapat mencurahkan diri untuk mendidik generasi bangsa menjadi orang yang cerdas apabila mereka sendiri masih was-was dengan nasibnya sebagai pendidik?
Selain itu, UU BHP akan memperkuat UU Guru dan Dosen untuk menyingkirkan orang-orang Indonesia dari negerinya sendiri. Bagaimana tidak? Dalam UU Guru dan Dosen, pendidik yang dibutuhkan adalah yang memiliki kompetensi profesional dan akademik. Sementara jika UU BHP disahkan apalagi diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang penggabungan BHP LN dan DN sesuai dengan UU Sisdiknas pasal 65 maka bias jadi guru-guru di negeri ini tidak bias mengajar lagi lantaran lembaga pendidikannya lebih memilih guru dari luar negeri yang lebih kompeten.
Selain itu, lembaga pendidikan dalam negeri tidak akan berpihak pada negerinya sendiri karena pada perpres no 76/77 disebutkan bahwa investasi asing bias masuk hingga 49%. Apabila ada 2% saja orang dalam negeri yang berkhianat terhadap negerinya maka kebijakan di lembaga tersebut otomatis akan dikuasai oleh kepentingan asing.
Australia dan Singapura telah merasakan keuntungan yang sangat besar dari bisnis di bidang pendidikan. Lebih dari 60% keuntungan negaranya berasal dari dunia pendidikan. Hal ini menjadi pemicu bagi Negara kapitalis lainnya untuk masuk ke Negara lain dalam bidang pendidikan.
Alasan lain bagi kita untuk menolak BHP adalah karena bersifat etatis, atas dasar penilaian pemerintah. Selain itu, pemerintah sangat berkepentingan untuk segera mengesahkan UU BHP ini sebelum 2010 guna memperoleh jaminan pinjaman untuk bias memenuhi 20% anggaran pendidikan. Lagi-lagi, pemerintah mengandalkan pinjaman luar negeri yang akan menjadi beban bagi generasi yang akan dating.
Belum lagi pasal-pasal yang menyebutkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Khususnya 1/3 untuk biaya operasional. Hal ini memperluas kesempatan lembaga pendidikan untuk menarik biaya dari peserta didik dan memperluas kesempatan pemerintah untuk tidak membuayai pendidikan. Maka, tiada kata lain selain tolak UU BHP.
Tawaran Solusi
UU Sisdiknas pasal 53 telah mengamanatkan dibentuknya UU badan hukum pendidkan. Padahal seperti yang telah kita telusuri bahwa produk UU BHP yang kemarin disahkan belum sesuai dengan filosofi dan sosiologi bangsa kita. Masih banyak penentangan dimana-mana. Selain itu, kita sadar dampak diberlakukannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember tersebut padahal telah disahkan 17 Desember 2008. Setelah melalui 30 hari maka UU ini akan diberlakukan. Untuk itu, solusi yang bias kita tawarkan adalah melakukan yudisial review yang berpijak pada pola pikir yang dilandasi falsafah pendidikan Indonesia. (bukan menjadikan lembaga pendidikan bak perusahaan).

2.Ujian Akhir Nasional
Permasalahan-permasalahan mengenai pendidikan formal di Indonesia dapat diibaratkan layaknya untaian benang kusut tiada berujung. Kekacauan-kekacauan yang terjadi semakin memperjelas betapa kita masih benar-benar kebingungan mencari format pendidikan nasional yang sesungguhnya, khususnya mengenai posisi UN dalam keseluruhan system pendidikan nasional.
UN masih dijadikan standar kelulusan dalam menempuh pendidikan khususnya pendidikan tingkat menengah. Sebenarnya sangat tidak adil apabila kelulusan hanya ditentukan dengan Ujian Nasional, karena bagaimanapun juga siswa telah menempuh pendidikan selama tiga tahun dengan berbagai mata pelajaran, tetapi semua hanya ditentukan dengan UN, dengan beberapa mata pelajaran yang dinilai ketetapan standar minimalnya.
Standar kelulusan untuk tahun 2008/2009 untuk tingkat SMA/MA dan SMK adalah 5,50 dengan tidak ada nilai dibawah 4,50, apabila ada salah satu mata pelajaran mendapat nilai 4,25 maka nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,25 (tw tabloid kabar kampus 06 April 2009). Jumlah mata pelajaran yang semula tiga mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran. Pertanyaan besar muncul. Dengan UN seperti itu apakah sekolah benar-benar layak disebut sebagai lembaga pendidikan? Apa kriteria kelulusan pendidikan hanya diukur dari segi segi kognitif (intelektual belaka)? Lalu dimana letak nilai agung pendidikan? Moralitas, kejujuran, kedisiplinan, tangung jawab, dll? Disinilah kiranya kita dapat menentukan format evaluasi pendidikan yang benar-benar sesuai, sebuah format evaluasi pendidikan yang berorientasi efektif.
Bila kita lihat UN tahun lalu banyak sekali siswa yang tidak lulus UN. Tidak sedikit siswa yang gagal itu adalah siswa berprestasi, hanya karena nilai UN-nya yang jeblok. Tetapi pada sesungguhnya dia adalah anak yang rajin, berkepribadian baik bahkan berprestasi. Semua itu sama sekali tidak dijadikan bahan pertimbangan untuk kelulusan, hanya melihat nilai UN saja. Kalau nilai tidak memenuhi standar maka dia sudah dinyatakan tidak lulus. Hal itu sangatlah tidak adil bagi mereka.
Para peserta yang tidak lulus ujian nasional yang tidak bisa memenuhi standar nilai kelulusan 4,25 ada beberapa yang nekat bunuh diri, ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekolah sendiri. Berita lain, SMK Negeri 1 Cilegon diharuskan mengulang UN karena ditemukan bukti ada Jockey UN, serta ada peserta yang ingin melukai gurunya (Kompas, 22/6/2007) mengapa itu terjadi? Pemicunya adalah tidak relevan.
Semua hal tersebut di atas bukan berarti menunjukkan bahwa UN tidak penting dan tidak perlu dilaksanakan, akan tetapi disinilah perlunya kita mensinergikan antara pentingnya UN, hakekatnya pendidikan dan keadilan bagi siswa. UN sebagai format evaluasi yang dilaksanakan secara nasional tetap penting untuk dilaksanakan sebagai upaya pemetaan dan alat diagnosa mengenai pendidikan nasional, khususnya persebaran mutu dan kualitas untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Berdasarkan hal tersebut maka UN bagaimanapun baik untuk dilaksanakan tetapi bukan dijadikan standar kelulusan. UN hanya dijadikan salah satu aspek penilaian kelulusan saja. Penilaian kelulusan siswa harus dilihat secara menyeluruh dengan pertimbangan prestasi dan sikap siswa selama menempuh pendidikan di sekolah sela tiga tahun, sehingga peran sekolah dalam hal ini guru mempunyai porsi tanggung jawab yang sangat besar.
Jika hal tersebut dapat dilaksanakan diharapkan evaluasi pendidikan benar-benar dapat dijadikan tolok ukur prestasi dan kemampuan siswa. Hal-hal negatif seperti ketidak jujuran (siswa, guru, orang tua), ketakutan dll benar-benar tidak terjadi dalam proses evaluasi pendidikan. Harapannya evaluasi pendidikan tidak menjadi “HANTU” yang menakutkan bagi siswa, guru dan semua pihak yang terkait.

PENUTUP
Arah kebijakan pendidikan nasional kedepan harus mampu menterjemahkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini membutuhkan sebauh sistem yang mampu dilaksanakan sampai tataran praktis pendidikan dan pengajaran di kelas. Ada 9 hal yang harus diperhatikan dalam upaya peningkatan upaya memajukan pendidikan nasional kedepan, yaitu:
1.Mencabut UU Badan Hukum Pendidikan
2.Menghapuskan UN sebagai salah satu penentu kelulusan
3.Mengeluarkan gaji guru dalam anggaran 20% pendidikan
4.Peningkatan profesionalime guru
5.Mencabut Peraturan Presiden No.77 tahun 2007, tentang investasi asing dalam dunia pendidikan.
Lima hal ini menjadi catatan yang harus disikapi oleh pemerintahan kedepan sebagai peningkatan ”akses serta mutu” pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar