Pages - Menu

Kamis, 06 Agustus 2009

PENDIDIKAN : SARANA STRATEGIS PEMBANGUNAN KARAKTER

oleh Education Center BEM ReMa UNY

PENDAHULUAN
Sejak 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, terlepas dari belenggu penjajahan asing. Dalam tujuan pendirian negara, bangsa ini memiliki harapan besar untuk tercapainya perlindungan segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, kemajuan dan kesejahteraan umum, kehidupan bangsa yang cerdas, dan perdamaian. Akan tetapi, sudah 64 tahun negeri ini merdeka, cita-cita tersebut serasa masih jauh dari harapan. Betapa banyak pulau-pulau yang telah kita lepaskan. Tidak hanya Sipadan dan Ligitan tetapi banyak pulau lain lepas gara-gara tidak bernama. Betapa banyak utang, kasus korupsi, dan undang-undang pesanan asing. Tahun 2007, angka kemiskinan kita masih mencapai 16,58%. Index Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2008 sangat rendah, yaitu 2,6. Hal ini berarti kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi untuk tidak korupsi sangat rendah. Menurut WALHI, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Hal ini semakin diperparah dengan keluarnya PP No.2 tahun 2008 tertanggal 4 februari 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan, yang mengizinkan pembukaan hutan untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp.120,--Rp.300,- per meter persegi per tahun. Konflik sosial, antaretnis dan SARA semakin merebak mengikuti krisis ekonomi 1998 yang sampai saat ini belum memberikan perubahan yang signifikan. Padahal saat itu, tidak hanya Indonesia1 yang mengalami krisis. Malaysia, Korea Selatan2, dan Thailand3 mengalami krisis ekonomi yang sama tetapi mereka mampu bangkit dalam waktu relatif singkat. Keterpurukan bangsa ini tiada lain karena pada hakekatnya kita mengalami krisis karakter (Gedhe Raka, 1997:1). Jikalau Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand lebih cepat bangkit karena mereka hanya mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi dapat diselesaikan dengan kebijakan ekonomi. Akan tetapi, akar krisis ekonomi Indonesia jauh lebih dalam yaitu krisis karakter.

HAKIKAT PENDIDIKAN4
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa harapan besar masyarakat terletak pada karakter tiap individu. Ungkapan ini bila diartikan secara lebih luas mengandung makna bahwa tiap individu berperan dalam pembangunan peradaban. Hal ini karena masyarakat sendiri terdiri dari individu sehingga untuk membangun masyarakat, peran tiap individu sangat dibutuhkan.
Di dalam lingkungannya, individu dituntut untuk beradaptasi. Adaptasi yang dilakukan oleh manusia ini akan membentuk peradaban, sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Peradaban ini berupa sistem-sistem simbolik (matematika, bahasa, musik), budaya, serta aturan-aturan sosial yang dibuat oleh manusia dan mengarahkan tingkah laku manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang dalam arti yang sangat luas adalah dunianya. Vygotsky (dalam Miller, 1999) dalam perkembangan dan adaptasi manusia dalam lingkungan tempat tinggalnya, fungsi kognisi manusia berperan di dalamnya. Pengendalian kognisi manusia ini diatur dalam suatu fungsi mental yang disebut sebagai higher mental function. Higher mental function ini berkembang melalui proses internalisasi, dimana hal-hal yang ada di luar individu menjadi bagian dari individu itu sendiri. Hal yang diinternalisasi oleh manusia adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup dan internalisasi ini mampu terjadi bila individu di masa awal hidupnya mendapatkan guidance dari orang-orang di sekitarnya. Guidance inilah yang termanifestasikan dalam pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Bangsa yang hidup seperti layaknya individu, harus terus mengarah kepada kemajuan, baik dalam pemikiran maupun tindakan. Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya dan persatuan”. Prof. Wuryadi menambahkan bahwa pada dasarnya manusia baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedang ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram. Para psikolog humanistis seperti Maslow dan Rogers pun juga beranggapan bahwa perkembangan diri adalah tujuan tertinggi dari tiap individu. Dan perkembangan diri, pembentukan karakter dan pemenuhan potensi bisa didapatkan melalui pendidikan. Pendidikan yang progresif adalah menyerukan penataan kembali masyarakat dan bangsa. Pembangunan sektor pendidikan harus menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, pendidikan hendaknya dapat menjadi sarana pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya sebagai subyek yang bermutu dan berdaya saing tinggi.

HAKEKAT KARAKTER
Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Pendapat lain berasal dari Doni Koesoema A (2007:80) yang menganggap bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Winnie yang juga dipahami oleh Ratna Megawangi, menyampaikan bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
Sedangkan definisi karakter menurut Victoria Neufeld & David B. Guralnik yang dikutip oleh I Gede Raka adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat.
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.

PENDIDIKAN KARAKTER
Seperti disampaikan di atas bahwa pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Jadi, pendidikan merupakan sarana strategis dalam pembentukan karakter. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Ki Supriyoko (2004:419) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sarana strategis untuk meningkatkan kualitas manusia.
Untuk dapat memahami pendidikan karakter itu sendiri, kita perlu memahami struktur antropologis yang ada dalam diri manusia (Doni Koesoema A, 2007:80). Adapun struktur antropologis manusia terdiri atas jasad, ruh, dan akal. Hal ini selaras dengan pendapat Lickona (1992) yang menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Istilah lainnya adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk itu, dalam pendidikan karakter harus mencakup semua struktur antropologis manusia tersebut.
Lantas karakter seperti apa yang dapat dijadikan teladan? Berbicara tentang karakter maka kita berbicara tentang manusia. Manusia yang layak dijadikan teladan adalah nabi. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri tetapi bagaimana dapat berkontribusi sebanyak mungkin untuk masyarakat. Kita mendapati dari 100 orang yang berpengaruh di dunia, Muhammad dan Isa menempati posisi atas. Jika kita kontekskan ke Indonesia maka para pahlawan, pendiri bangsa kita adalah orang-orang yang sangat meneladani para nabi. Maka karakter yang paling ideal adalah intelektual profetik.
Seorang intelektual profetik memiliki karakter sebagai berikut:
1.Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan
Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2.Cinta Tuhan
Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3.Bermoral
Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4.Bijaksana
Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5.Pembelajar sejati
Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6.Mandiri
Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7.Kontributif
Kontributif nerupakan cermin seorang pemimpin.
Dalam mewujudkan pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa penanaman nilai-nilai (Azyumardi Azra, 2002:175). Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Ratna Megawangi menamakannya "9 Pilar Karakter", yakni
1.cinta Tuhan dan kebenaran,
2.bertanggung jawab, berdisiplinan, dan mandiri,
3.mempunyai amanah,
4.bersikap hormat dan santun,
5.mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama,
6.percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah,
7.mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan,
8.baik dan rendah hati,
9.mempunyai toleransi dan cinta damai.
Paterson dan Seligman seperti yang dikutip oleh I Gede Raka, mengidentifikasikan 24 jenis karakter yang baik atau kuat (character strength). Karakter-karakter ini diakui sangat penting artinya dalam berbagai agama dan budaya di dunia. Dari berbagai jenis karakter, untuk Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat penting dan sangat mendesak dibangun dan dikuatkan sekarang ini yaitu: kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat belajar, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia selama ini yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar yang rendah.
Sedangkan Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan Jum’at, 19 Juni 2009 mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi:
1.God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya)
2.Knowing Yourself (memahami diri sendiri)
3.Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral)
4.Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami)
5.A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain)
6.Sense of belonging
7.Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu)
8.Dien for All Times & Places
9.Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq)
10.Making a Difference (membuat perbedaan)
11.Taking the Lead
Adapun nilai-nilai yang perlu diajarkan pada anak menurut Dr Sukamto meliputi:
1.Kejujuran
2.Loyalitas dan dapat diandalkan
3.Hormat
4.Cinta
5.Ketidak egoisan dan sensitifitas
6.Baik hati dan pertemanan
7.Keberanian
8.Kedamaian
9.Mandiri dan Potensial
10.Disiplin diri dan Moderasi
11.Kesetiaan dan kemurnian
12.Keadilan dan kasih sayang
Selain itu, Kuntowijoyo juga merumuskan nilai-nilai profetik yang meliputi transendensi, humanisasi, dan liberasi (Moh. Shofan:2004). UNY sendiri mengharapkan lulusannya supaya menjadi pribadi-pribadi yang cendekia, mandiri, dan bernurani.
Agar dapat dijadikan ukuran yang benar, sesungguhnya karakter individu juga bisa dilihat sebagai konsekuensi karakter masyarakat. Kalau karakter masyarakat dan karakter bangsa akan ikut menentukan karakter individu, maka sasaran pendidikan karakter akan lebih banyak diarahkan pada masyarakat atau bangsa.
Bangsa Indonesia menyepakati nilai-nilai yang diusung menjadi pandangan filosofis kehidupan bangsanya. Nilai-nilai itu meliputi : (1). Ketuhanan yang maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradap, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini selaras dengan nilai-nilai berikut yang kita sebut sebagai 5 pilar karakter :
1.Transendensi
Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Darinya akan memunculkan penghambaan semata-mata pada Tuhannya yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu memakmurkannya.
2.Humanisasi
Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi.
3.Kebinekaan
Kesadaran akan ada sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan
4.Liberasi
Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Olehnya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia.
5.Keadilan
Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional.

PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI INDONESIA
Menurut Prof. Wuryadi, sebenarnya, pembangunan karakter bangsa mulai dikumandangkan sebagai bagian dari program nasional bangsa dan pemerintah Indonesia sejak awal negara ini lahir. Tetapi, program ini belum selesai karena banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan. Indonesia dengan kekayaan alamnya akan sulit dikuasai manakala bangsanya memiliki karakter yang kuat. Oleh karena itu, kondisi bangsa kita dibuat semakin tajam krisis karakternya. Menurut Gedhe Raka, krisis karakter bangsa kita disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.Terlampau terlena oleh Sumber Daya Alam yang melimpah.
2.Pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik.
3.Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme ‘overdoses’.
4.Kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri

FUNGSI KARAKTER
Selain memperkecil resiko kehancuran, karakter juga menjadi modal yang sangat penting untuk bersaing dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat di tengah-tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa Jepang cepat bangkit sesudah kekalahannya dalam Perang Dunia II dan meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karakterlah yang membuat bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua bangsa yang secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan Amerika. Pembangunan karakterlah yang membuat Korea Selatan sekarang jauh lebih maju dari Indonesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi dan teknologi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang membuat para pejuang kemerdekaan berhasil menghantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya (Gedhe Raka, 1997:1).


Referensi:
Achmad Fedyani Saifuddin dan Mulyawan Karim.(2008). Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia.

Ayumardi Azra.(2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.

Doni Koesoema A. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

Gedhe Raka. (1997). Pendidikan Membangun Karakter. Bandung. Makalah Tidak dipublikasikan.

Moh. Shofa.(2004).Pendidikan Berparadigma Profetik.Yogyakarta:IRCiSoD.

Pusgerak BEM UI 2007, Pusgerak BEMUI 2008, Yustisia Rachman, Rimas Kautsar, Fitri Arlinkasari. (2009). Kajian UU Badan Hukum Pendidikan. Tidak dipublikasikan.

Tim Penyusun. (1993). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UPP UNY.

Wuryadi. ( ). Pendidikan untuk Membangun Bangsa Dan Wataknya. Makalah tidak dipublikasikan.





”Kata kunci di era knowledge based society/economy adalah knowledge creation dan sharing culture. Budaya ini lahir dari kesadaran (intrinsic motivation, IM). Bukan terpaksa dari luar (extensic). IM sendiri merupakan refleksi karakter-karakter luhur yang terbentuk melalui proses yang panjang. Disinilah ketika kita bicara tentang SDM yang dapat bersaing secara global maka pendidikan karakter menjadi imperatif. Knowledge is power, but character is more.”(Prof. Shohibul Iman, Dosen Paramadina)

“Selama dimensi karakter tidak menjadi bagian dari kriteria keberhasilan dalam pendidikan, selama itu pendidikan tidak akan berkontribusi banyak dalam pembangunan karakter”
(I Gedhe Raka, Guru Besar ITB)

”Dalam kenyataanya, pendidik berkarakterlah yang menghasilkan SDM handal dan memiliki jati diri. Oleh karena itu, jadilah memiliki jati diri. Oleh karena itu, jadilah pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas.”( Prof. Dr. H. Furqon Hidayatullah, M. Pd, Dekan FKIP UNS, penulis buku pendidikan karakter)

”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (mengejewantah) dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) adalah JUJUR, SABAR, RENDAH HATI, TANGGUNG JAWAB dan RASA HORMAT, yang tercermin dalam kesatuan organisasi harmonis dinamis. Tanpa nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan yang dimilikinya. Kita memanggandrung untuk membangun, tumbuh dan berubah, namun bukan denganharga setinggi harga penghancur eksistensi, esensi diri dan karakter kita sendiri. Kita ingin mengenyam dan bila mungkin menyambung kemenangan ilmu dan teknologi, tetapi bukan kemenangan semu yang secara ”built-in” mengandung kekalahan total dari sudut nilai-nilai insani. Kemenangan semu jangka pendek akan menjadi bumerang kerugian jangka panjang (Dwi Siswoyo M. Hum, Dosen FIP UNY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar