Pages - Menu

Rabu, 19 Agustus 2009

SAJAK SEBATANG LISONG

Oleh :
W.S. Rendra

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.


(untuk mengenang mengenang beliau dalam semangat perubahan untuk bangsa)

Senin, 17 Agustus 2009

Idealisme Mahasiswa

Oleh: Amirddin Shafa
Menteri Sosial Politik BEM REMA UNY

Perubahan dari siswa menjadi mahasiswa adalah sebuah proses yang sangat luar biasa. Tidak hanya perubahan secara fisik, pemikiran, tetapi juga secara idealisme. Mahasiswa adalah manusia terpilih diantara berjuta manusia yang tidak dapat menempuh pendidikan karena sistem yang menjerat mereka untuk terhambat belajarnya. Terlalu banyak mahasiswa yang terjebak pada relaita masa lalu, masa dimana dia masih menjadi seorang siswa. Banyak pendapat tentang idealisme mahasiswa itu seperti apa? Akan kemanakah idealisme itu dibawa, apakah sampai di bekerja atau hanya sampai pada tataran menjadi mahasiswa saja. Beberapa hal yang bisa diambil dari berbagai pendapat idelaisme mahasiswa itu, antara lain adalah:
1. Belajar tapi sosialis :
Mahasiswa pada hakikatnya adalah manusia pembelajar, dimana mahasiswa berada dalam sebuah kampus dituntut untuk menuntuk ilmu di bangku kuliahnya. Tetapi mahasiswa yang berada dibangku kuliah juga harus memiliki jiwa social untuk melihat kepada permasalahan yang sedang melanda disekitar mereka. Salah satu julukan untuk seorang mahasiswa yaitu sebagai social control. Menjadi keprihatinan bersama jika ada mahasiswa kehilangan sisi social nya dalam bermasyarakat.
2. berorganisasi tapi prestatif
untuk melakukan fungsi sosialnya mahasiswa tidak akan terlepas dari organisasi, dimana organisasi ini membelajarkan kita pada bagaimana kita bekerjasama dan bermasyarakat. dari sisi ini kita akan dibelajarkan pada berbagai permasalahan masyarakat, mengasah kepekaan kita terhadap fenomena yang ada. Kitalah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam masyarakat, entah siapa diantara kita nantinya akan menjadi seorang presiden, menteri, anggota DPR, direktur perusahaan, bahkan di organisasi yang paling kecil adalah keluarga. Hal ini sesuai dengan fungsi mahasiswa sebagai agent of change Kita tidak akan pernah terlepas dari organisasi itu, saat menjadi mahasiswa inilah kita dibelajarkan untuk berorganisasi.
Tidak terlepas dari kesibukan kita berorganisasi, kita tetap harus berprestasi. Prestasi disini ada berbagai hal, prestasi dalam bidang akademiknya, misalnya saat kita menjadi ketua BEM atau HIMA nilai IPK kita tidak lebih dari 2,75 atau bahkan masih cumlaude. selain prestasi dalam bidang akademik, kita juga dapat berprestasi dalam bidang non akademik, misalnya saat kita berorganisasi kita juga menjadi juara dalam lomba atau dalam kejuaraan. Seperti perkataan orang jawa “sembodo”.
3. berpolitik tapi objektif
Pada posisinya mahasiswa adalah tergolong pada masyarakat intelektual yang sampai saat ini dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi penengah antara masyarakat dengan pemerintahanya. Berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat harus menjadi tanggung jawab mahasiswa untuk mengawalnya. Ini konsekwensi logis disaat mahasiswa berada pada posisi political force. Kita tidak akan terlepas dari politik itu sendiri sebagai bagian dari kehidupan kita. Peran mahasiswa pada perjalanan Indonesia mulai tahun 45, 66, 98, ini sangat berarti dalam setiap perubahanya.
Tetapi keberpolitikan kita dalam setiap pengaruh kebijakan harus memposisikan kita sebagai pihak yang objektif. Objektif disini adalah saat kita melihat setiap permasalahan kebijakan ini dari segala sisi, dan memutuskan bukan untuk kepentingan tertentu.
Kelaparan sering melanda masyarakat Indonesia, korupsi yang meraja lela tanpa batas, ribuan lulusan sarjana dan SMA tidak mendapatkan pekerjaan, jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam sekolah, hutan ditebangi oleh mereka yang tidak bertanggungjawab. Jika kita menyatakan diri sebagai mahasiswa dan masih diam. Berarti kita sudah menyatakan diri kita telah mati.

Sabtu, 08 Agustus 2009

TELAAH KRITIS WAJAH PENDIDIKAN NASIONAL

Bangsa Indonesia menempatkan pendidikan dalam ruang strategis pembangunan. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan tujuan didirikan bangsa ini, salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini ditegaskan kembali dalam pembukaan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “ Setiap Warga Negara berhak mendapatkan pendidikan Ini sudah sangat jelas, bahwa konstitusi Negara mengatur pendidikan sebagai hak dasar setiap warga Negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
Dalam pasal 31 secara utuh ada beberapa point penting bagi proses penyelenggaraan pendidikan nasional. Point pertama, Hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan. Kedua, kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar. Ketiga, pemerintah menyelenggarakan satu system pendidikan yang sesuai dengan UU. Keempat, kewajiban pemerintah memprioritaskan 20% anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Kelima, pemerintah memajukan IPTEK untuk kemajuan peradaban dan umat.
Sedikit menengok konstitusi dasar “pembukaan UUD 1945 pasal 31” secara implisit akan terbangun sebuah optimisme akan terwujudnya salah satu cita-cita bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, optimisme ini akan sirna saat melihat kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Kebijakan yang ada menyentuh semua aspek yang jauh dari ideal dalam peningkatan akses dan mutu pendidikan.
Hal ini disebabkan adanya arah yang salah dalam membangun orientasi pendidikan nasional. Pendidikan yang bermutu sudah menjadi suatu barang konsumsi yang mahal. Ini disebabkan oleh adanya komersialisasi pendidikan yang jelas-jelas telah terjadi.

UJIAN NASIONAL MEMBAWA PENDERITAAN….!!! MENGAPA UN TETAP DIJADIKAN SEBAGAI SATU-SATUNYA STANDAR KELULUSAN?

Oleh; TIM Kajian Risert dan Eksperimen Educatian Centre BEM Universitas Negeri Yogyakarta

Permasalahan-permasalahan mengenai pendidikan formal di Indonesia dapat diibaratkan layaknya untaian benang kusut tiada berujung. Kekacauan-kekacauan yang terjadi semakin memperjelas betapa kita masih benar-benar kebingungan mencari format pendidikan nasional yang sesungguhnya, khususnya mengenai posisi UN dalam keseluruhan system pendidikan nasional.
Hal ini dikarenakan UN masih dijadikan standar kelulusan dalam menempuh pendidikan khususnya pendidikan tingkat menengah. Sebenarnya sangat tidak adil apabila kelulusan hanya ditentukan dengan Ujian Nasional, karena bagaimanapun juga siswa telah menempuh pendidikan selama tiga tahun dengan berbagai mata pelajaran, tetapi semua hanya ditentukan dengan UN, dengan beberapa mata pelajaran yang dinilai ketetapan standar minimalnya.
Standar kelulusan untuk tahun 2008/2009 untuk tingkat SMA/MA dan SMK adalah 5,50 dengan tidak ada nilai dibawah 4,50, apabila ada salah satu mata pelajaran mendapat nilai 4,25 maka nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,25 (tw tabloid kabar kampus 06 April 2009). Jumlah mata pelajaran yang semula tiga mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran. Pertanyaan besar muncul. Dengan UN seperti itu apakah sekolah benar-benar layak disebut sebagai lembaga pendidikan? Apa kriteria kelulusan pendidikan hanya diukur dari segi segi kognitif (intelektual belaka)? Lalu dimana letak nilai agung pendidikan? Moralitas, kejujuran, kedisiplinan, tangung jawab, dll? Disinilah kiranya kita dapat menentukan format evaluasi pendidikan yang benar-benar sesuai, sebuah format evaluasi pendidikan yang berorientasi efektif.
Bila kita lihat UN tahun lalu banyak sekali siswa yang tidak lulus UN. Tidak sedikit siswa yang gagal itu adalah siswa berprestasi, hanya karena nilai UN-nya yang jeblok. Tetapi pada sesungguhnya dia adalah anak yang rajin, berkepribadian baik bahkan berprestasi. Semua itu sama sekali tidak dijadikan bahan pertimbangan untuk kelulusan, hanya melihat nilai UN saja. Kalau nilai tidak memenuhi standar maka dia sudah dinyatakan tidak lulus. Hal itu sangatlah tidak adil bagi mereka.
Para peserta yang tidak lulus ujian nasional yang tidak bisa memenuhi standar nilai kelulusan 4,25 ada beberapa yang nekat bunuh diri, ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekolah sendiri. Berita lain, SMK Negeri 1 Cilegon diharuskan mengulang UN karena ditemukan bukti ada Jockey UN, serta ada peserta yang ingin melukai gurunya (Kompas, 22/6/2007) mengapa itu terjadi? Pemicunya adalah tidak relevan.
Semua hal tersebut di atas bukan berarti menunjukkan bahwa UN tidak penting dan tidak perlu dilaksanakan, akan tetapi disinilah perlunya kita mensinergikan antara pentingnya UN, hakekatnya pendidikan dan keadilan bagi siswa. UN sebagai format evaluasi yang dilaksanakan secara nasional tetap penting untuk dilaksanakan sebagai upaya pemetaan dan alat diagnosa mengenai pendidikan nasional, khususnya persebaran mutu dan kualitas untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Berdasarkan hal tersebut maka UN bagaimanapun baik untuk dilaksanakan tetapi bukan dijadikan standar kelulusan. UN hanya dijadikan salah satu aspek penilaian kelulusan saja. Penilaian kelulusan siswa harus dilihat secara menyeluruh dengan pertimbangan prestasi dan sikap siswa selama menempuh pendidikan di sekolah sela tiga tahun, sehingga peran sekolah dalam hal ini guru mempunyai porsi tanggung jawab yang sangat besar.
Jika hal tersebut dapat dilaksanakan diharapkan evaluasi pendidikan benar-benar dapat dijadikan tolok ukur prestasi dan kemampuan siswa. Hal-hal negatif seperti ketidak jujuran (siswa, guru, orang tua), ketakutan dll benar-benar tidak terjadi dalam proses evaluasi pendidikan. Harapannya evaluasi pendidikan tidak menjadi “HANTU” yang menakutkan bagi siswa, guru dan semua pihak yang terkait. (tw)

UU BHP Hancurkan Karakter Bangsa

Pendidikan merupakan penentu peradaban. Ia tidak bisa terpisah dari kehidupan setiap umat manusia termasuk bangsa Indonesia (Driyarkara, 1980:32). Ialah yang akan mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas sesuai dengan tujuan didirikannya negeri ini. Untuk itu, pendidikan haruslah menjadi perhatian utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.dan menjadi acuan dalam pengambilan setiap kebijakan di negeri ini.
Negara-negara yang telah sadar akan pentingnya pendidikan mengambil tindakan: memberikan perhatian utama pada bidang ini di negerinya dan/atau memanfaatkan pentingnya pendidikan ini untuk memasukkan ideology mereka atau untuk menghancurkan Negara lain kemudian menguasainya. Tindakan terakhir yang nampaknya ditunjukkan oleh Negara-negara kapitalis terhadap Indonesia. Hal ini karena Indonesialah yang bersedia menerapkan liberalisasi khususnya di bidang pendidikan di saat ideology kapitalis berada di ambang kehancuran.
Amerika latin telah mengambil kebijakan untuk mengelola kekayaan negerinya sendiri tanpa campur tangan para korporat. Mereka memahami betul kehancuran ideology kapitalisme sehingga perlu memutus hubungan dengan Negara-negara kalitalis. Ternyata mereka mengakui bahwa ide untuk menjadi mandiri pada dasarnya berasal dari Indonesia. Akan tetapi, pada saat ini, Indonesialah Negara yang terang-terangan menawarkan liberalisasinya bahkan dalam dunia pendidikannya. Pada bulan Desember 2005, dalam perundingan WTO di Hong Kong, Pemerintah Indonesia menawarkan liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan dan teknik, pendidikan tinggi kejuruan dan teknik, dan pendidikan tinggi. Penawaran ini merupakan konsekuensi dari Pasal 65 UU Sisdiknas yang menganut asas globalisasi pendidikan. General Agreement of Trade in Services (GATS) yang merupakan lanjutan pelaksanaan dari UU No. 7 Tahun 1994 juga menetapkan pendidikan sebagai industri jasa yang bebas dari intervensi pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dalam perjanjian tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan budaya yang nirlaba, tetapi adalah salah satu industri jasa atau komoditi ekonomi. Apa jadinya bangsa ini jikalau pendidikan dijadikan sebagai komoditas jasa? Untuk itu, kita harus memutus mata rantai legalitas liberalisasi di Indonesia
Secara filosofis, UU BHP jelas-jelas bertentangan dengan filosofi pendidikan di Indonesia. Dari keseluruhan pasal khususnya pasal 56 s.d 59 UU BHP sangat diwarnai dengan pola pikir korporasi, perusahaan. Lembaga pendidikan dianggap bak perusahaan yang mencetak peserta didiknya ibarat barang yang siap diperjualbelikan. Maka UU BHP ini merupakan pengkhianatan terhadap tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pola pikir perusahaan tersebut, pendidikan hanya akan mencetak generasi bangsa ini seperti robot yang tidak memiliki kehendak pribadi. Bahkan tidak akan mampu mengenal negerinya sendiri.
Dengan diterapkannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember ini akan mewarnai seluruh proses pendidikan di negeri ini dengan jiwa kompetisi. Hal ini sangat tidak sesuai dengan karakter bangsa kita. Kompetisi berarti menganggap orang lain sebagai saingan dan musuh yang harus ditumbangkan demi dirinya yang nomor satu. Hal ini sangat bertentangan dengan karakter bangsa kita yang sejak awal meyakini bahwa kehidupan yang sinergis adalah kehidupan yang sesuai dengan hakekat manusia dan akan membawa pada kebahagiaan. Bangsa Indonesia sejak awal mengenal gotong royong sebagai karakter bangsa ini. Dan tidak akan ada lagi ketika kehidupan bangsa ini telah diliputi oleh budaya kompetisi.
Pola pikir perusahaan juga terlihat dalam penggunaan pendidik dan tenaga kependidikan seperti dalam BAB VIII. Pendidik dan tenaga kependidikan akan disamakan dengan buruh pabrik yang bekerja atas dasar kontrak kerja dengan pemimpin organ pengelola BHP. Dengan demikian, nasib pendidik di Indonesia semakin tidak jelas. Bagaimana mereka dapat mencurahkan diri untuk mendidik generasi bangsa menjadi orang yang cerdas apabila mereka sendiri masih was-was dengan nasibnya sebagai pendidik?
Selain itu, UU BHP akan memperkuat UU Guru dan Dosen untuk menyingkirkan orang-orang Indonesia dari negerinya sendiri. Bagaimana tidak? Dalam UU Guru dan Dosen, pendidik yang dibutuhkan adalah yang memiliki kompetensi profesional dan akademik. Sementara jika UU BHP disahkan apalagi diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang penggabungan BHP LN dan DN sesuai dengan UU Sisdiknas pasal 65 maka bias jadi guru-guru di negeri ini tidak bias mengajar lagi lantaran lembaga pendidikannya lebih memilih guru dari luar negeri yang lebih kompeten.
Selain itu, lembaga pendidikan dalam negeri tidak akan berpihak pada negerinya sendiri karena pada perpres no 76/77 disebutkan bahwa investasi asing bias masuk hingga 49%. Apabila ada 2% saja orang dalam negeri yang berkhianat terhadap negerinya maka kebijakan di lembaga tersebut otomatis akan dikuasai oleh kepentingan asing.
Australia dan Singapura telah merasakan keuntungan yang sangat besar dari bisnis di bidang pendidikan. Lebih dari 60% keuntungan negaranya berasal dari dunia pendidikan. Hal ini menjadi pemicu bagi Negara kapitalis lainnya untuk masuk ke Negara lain dalam bidang pendidikan.
Alasan lain bagi kita untuk menolak BHP adalah karena bersifat etatis, atas dasar penilaian pemerintah. Selain itu, pemerintah sangat berkepentingan untuk segera mengesahkan UU BHP ini sebelum 2010 guna memperoleh jaminan pinjaman untuk bias memenuhi 20% anggaran pendidikan. Lagi-lagi, pemerintah mengandalkan pinjaman luar negeri yang akan menjadi beban bagi generasi yang akan dating.
Belum lagi pasal-pasal yang menyebutkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Khususnya 1/3 untuk biaya operasional. Hal ini memperluas kesempatan lembaga pendidikan untuk menarik biaya dari peserta didik dan memperluas kesempatan pemerintah untuk tidak membuayai pendidikan. Maka, tiada kata lain selain tolak UU BHP.
Tawaran Solusi
UU Sisdiknas pasal 53 telah mengamanatkan dibentuknya UU badan hukum pendidkan. Padahal seperti yang telah kita telusuri bahwa produk UU BHP yang kemarin disahkan belum sesuai dengan filosofi dan sosiologi bangsa kita. Masih banyak penentangan dimana-mana. Selain itu, kita sadar dampak diberlakukannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember tersebut padahal telah disahkan 17 Desember 2008. Setelah melalui 30 hari maka UU ini akan diberlakukan. Untuk itu, solusi yang bias kita tawarkan adalah melakukan yudisial review yang berpijak pada pola pikir yang dilandasi falsafah pendidikan Indonesia. (bukan menjadikan lembaga pendidikan bak perusahaan).

Evaluasi Makro Pendidikan Nasional

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia menempatkan pendidikan dalam prioritas arah pembangunan. Ini sejalan dengan apa yang digariskan para founding father dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut HAR. Tilaar, bangsa yang cerdas adalah bangsa yang percaya akan kemampuan diri sendiri dalam mengeksploitasi kekayaan alam dan kekayaan budaya Indonesia. Kekayaan alam dan kekayaan budaya Indonesia tersebut haruslah sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Ini bukan berarti pendidikan nasional mengasingkan diri dari perubahan global. Karena secara utuh misi bangsa dalam pembukaan UUD 1945 juga menuntut adanya partisipasi dalam menjaga ketertiban dunia.
Semangat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, diatur dengan gamblan dalam UUD 1945 pasal 31. Ada lima point penting dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional yang diatur dalam pasal 31. Pertama, adanya hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Kedua, kewajiban pemerintah dalam membiayai pendidikan. Ketiga, pemerintah menyelenggarakan system pendidikan nasional yang sesuai dengan undang-undang. Keempat, kewajiban pemerintah dalam mengalokasikan anggaran 20% anggaran untuk pendidikan. Kelima, pemerintah memajukan IPTEK untuk kemajuan peradaban dan umat. Ini sangat jelas menggambarkan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara indonesia, dan pemerintah wajib memenuhinya.
Optimisme terwujudnya bangsa yang cerdas sangat jelas tergambar dalam pasal 31. Namun, optimisme ini akan sirna saat melihat beberapa kebijakan mendasar arah pembangunan pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional yang seharusnya mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan serta adany pendidikan na relevansi dan efisiensi menejemen sistem pendidikan nasional, nyata-nyatanya tidak mampu mewujudkan akses serta mutu pendidikan yang baik. Dan, inilah permasalahan mendasar pendidikan nasional “akses dan mutu”.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak mampu mengejawantahkan dengan baik orientasi pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini jelas dapat dilihat dari beberapa kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan orientasi pendidikan nasional dan bersumber dari UU tersebut. Dilihat dari pengertian pendidikan yaitu sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekeuatan spiritual, dan lain-lain. Ini jelas mengaburkan makna pendidikan sebagai upaya pembebasan dan pembudayaan, seperti yang dikonsep oleh bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Selain itu, pengertian pendidikan yang dimaksudkan jelas mengkerdilkan peran pendidik “guru”. Pendidik diposisikan hanya sebagai fasilitator jalannya proses pembelajaran, tidak lagi menjadi tauladan.
Perlu mendapat cacatan salah satu misi pembangunan yaitu peningkatan daya saing bangsa, dalam UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2005-2025. Paradigma daya saing muncul dari teori ekonomi Adam Smith Dalam bukunya “An Inquiry into the Nature and the Courses of the Wealth of Nation (1776)”. Teori ini memandang manusia sebagai homo ekonomikus yang terus menerus mengejar kepentingannya sendiri dan mencari kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa yang dimilikinya. Ini akan memunculkan manusia yang egosentris dan individualistis. Ini jelas bertentangan dengan karakter yang akan dibentuk dalam proses pendidikan sesuai dengan pasal 3 UU Sisdiknas. Karakter yang ingin debentuk melalui proses pendidikan adalah peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pendidikan sebagai upaya membentuk karakter yang bangsa, haruslah mengedepankan independensi. Kewajiban negara dalam membiayai pendidikan harus ditunaikan. Peraturan Presiden No.77 Tahun 2007 mengenai pendidikan sebagai sektor yang dapat dimasuki penanaman modal asing. Peraturan tersebut pada dasarnya menjadikan pendidikan sebagai komoditi perdagangan. Masuknya modal asing akan membawa efek masuknya sistem pendidikan asing. Ini jelas mengancam tujuan pendidikan nasional, utnuk itu Peraturan Presiden No.77 Tahun 2007 mutlak harus dicabut.
Tanggung jawab pemerintah dalam menjamin akses pendidikan dikaburkan dengan adanya kebijakan UU No. 9 Tahun 2009 mengenai Badan Hukum Pendidikan. Ini jelas merupakan liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan akan mengakibatkan pendidikan biaya tinggi. Pendidikan akan menjadi mahal dan jelas akan semakin sulit dijangkau rakyat miskin. Walaupun disebutkan adanya kewajiban tiap satuan pendidikan untuk member jatah 20% bagi masyarakat miskin. BHP mengakibatkan pendidikan hanya akan bias dijangkau oleh orang-orang kaya saja. Ini jelas menjadikan pendidikan bersifat elitis, karena menjauhkan kesempatan orang miskin untuk bisa menikmati.
Mutu pendidikan sejalan dengan kualitas pendidiknya. Pendidik mempunyai peran central dalam terwujudnya pendidikan yang bermutu. Kualitas guru sampai hari ini masih cukup memprihatinkan, ini sejalan dengan kualitas pendidikan nasional yang masih rendah. Pendidik professional menurut UU Guru dan Dosen mempunyai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogic, profesional, kepribadian, dan sosial. Program sertifikasi guru belum mampu meningkatkan kualitas guru-guru. Sertivikasi sebatas hanya mampu meningkatkan kesejahteraan guru saja. Kualitas lembaga pencetak pendidik juga perlu diperhatikan dalam meningkatkan kualitas guru. Transformasi LPTK menjadi Universitas harus diperhatikan. Idealnya, keluasan yang diberikan dalam mengembangkan ilmu-ilmu murni yang akan menyokong praksis pendidikan.
Ujian Nasonal (UN) merupakan sebuah masalah dalam pendidikan nasional, walaupun ini merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Otonomi tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada KTSP menjadi seolah tidak berguna karena system evaluasi yang digunakan terpusat. UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan telah melahirkan budaya menghafal. Akhirnya pendidikan tidak mampu membangun karakter manusia Indonesia yang diharapkan. Selain pada hal-hal yang sifatnya substantif, UN juga telah memunculkan masalah-masalah teknis dalam pelaksanaanya, seperti: kebocoran soal dan kecurangan. Untuk itu, UN mutlak untuk dihapus sebagai salah satu indikator penentu kelulusan.
Anggaran juga menjadi salah satu faktor dalam mempengaruhi mutu dan akses pendidikan. Alokasi 20% anggaran pendidikan merupakan semangat pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, penelikungan anggaran 20% dengan memasukkan gaji guru di dalamnya merupakan sebuah bentuk pengingkaran semangat peningkatan mutu dan akses pendidikan. Karena secara prosentase gaji guru memakan lebih dari 50% dari keseluruhan angggaran pendidikan. Anggaran 20% tersebut seyogianya bisa untuk membangun laboratorium yang baik, menyediakan media pembelajaran, perpustakaan, dan fasilitas lain yang mendukung pendidikan.
Dapat disimpulkan, pendidikan nasional belum mampu mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini harus mendapat perhatian yang serius dari pemegang kebijakan “pemerintah”. Karena kualitas pendidikan sekarang adalah cerminan bangsa masa depan. Masalah mendasar pendidikan nasional yang harus segera disikapi adalah BHP, UN, 20% anggaran, Perpres No. 77 tahun2007 dan profesionalisme guru.
KAJIAN-KAJIAN SPESIFIK
1.Badan Hukum Pendidikan
Pendidikan merupakan penentu peradaban. Ia tidak bisa terpisah dari kehidupan setiap umat manusia termasuk bangsa Indonesia (Driyarkara, 1980:32). Ialah yang akan mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas sesuai dengan tujuan didirikannya negeri ini. Untuk itu, pendidikan haruslah menjadi perhatian utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.dan menjadi acuan dalam pengambilan setiap kebijakan di negeri ini.
Negara-negara yang telah sadar akan pentingnya pendidikan mengambil tindakan: memberikan perhatian utama pada bidang ini di negerinya dan/atau memanfaatkan pentingnya pendidikan ini untuk memasukkan ideology mereka atau untuk menghancurkan Negara lain kemudian menguasainya. Tindakan terakhir yang nampaknya ditunjukkan oleh Negara-negara kapitalis terhadap Indonesia. Hal ini karena Indonesialah yang bersedia menerapkan liberalisasi khususnya di bidang pendidikan di saat ideology kapitalis berada di ambang kehancuran.
Amerika latin telah mengambil kebijakan untuk mengelola kekayaan negerinya sendiri tanpa campur tangan para korporat. Mereka memahami betul kehancuran ideology kapitalisme sehingga perlu memutus hubungan dengan Negara-negara kalitalis. Ternyata mereka mengakui bahwa ide untuk menjadi mandiri pada dasarnya berasal dari Indonesia. Akan tetapi, pada saat ini, Indonesialah Negara yang terang-terangan menawarkan liberalisasinya bahkan dalam dunia pendidikannya. Pada bulan Desember 2005, dalam perundingan WTO di Hong Kong, Pemerintah Indonesia menawarkan liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan dan teknik, pendidikan tinggi kejuruan dan teknik, dan pendidikan tinggi. Penawaran ini merupakan konsekuensi dari Pasal 65 UU Sisdiknas yang menganut asas globalisasi pendidikan. General Agreement of Trade in Services (GATS) yang merupakan lanjutan pelaksanaan dari UU No. 7 Tahun 1994 juga menetapkan pendidikan sebagai industri jasa yang bebas dari intervensi pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dalam perjanjian tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan budaya yang nirlaba, tetapi adalah salah satu industri jasa atau komoditi ekonomi. Apa jadinya bangsa ini jikalau pendidikan dijadikan sebagai komoditas jasa? Untuk itu, kita harus memutus mata rantai legalitas liberalisasi di Indonesia
Secara filosofis, UU BHP jelas-jelas bertentangan dengan filosofi pendidikan di Indonesia. Dari keseluruhan pasal khususnya pasal 56 s.d 59 UU BHP sangat diwarnai dengan pola pikir korporasi, perusahaan. Lembaga pendidikan dianggap bak perusahaan yang mencetak peserta didiknya ibarat barang yang siap diperjualbelikan. Maka UU BHP ini merupakan pengkhianatan terhadap tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pola pikir perusahaan tersebut, pendidikan hanya akan mencetak generasi bangsa ini seperti robot yang tidak memiliki kehendak pribadi. Bahkan tidak akan mampu mengenal negerinya sendiri.
Dengan diterapkannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember ini akan mewarnai seluruh proses pendidikan di negeri ini dengan jiwa kompetisi. Hal ini sangat tidak sesuai dengan karakter bangsa kita. Kompetisi berarti menganggap orang lain sebagai saingan dan musuh yang harus ditumbangkan demi dirinya yang nomor satu. Hal ini sangat bertentangan dengan karakter bangsa kita yang sejak awal meyakini bahwa kehidupan yang sinergis adalah kehidupan yang sesuai dengan hakekat manusia dan akan membawa pada kebahagiaan. Bangsa Indonesia sejak awal mengenal gotong royong sebagai karakter bangsa ini. Dan tidak akan ada lagi ketika kehidupan bangsa ini telah diliputi oleh budaya kompetisi.
Pola pikir perusahaan juga terlihat dalam penggunaan pendidik dan tenaga kependidikan seperti dalam BAB VIII. Pendidik dan tenaga kependidikan akan disamakan dengan buruh pabrik yang bekerja atas dasar kontrak kerja dengan pemimpin organ pengelola BHP. Dengan demikian, nasib pendidik di Indonesia semakin tidak jelas. Bagaimana mereka dapat mencurahkan diri untuk mendidik generasi bangsa menjadi orang yang cerdas apabila mereka sendiri masih was-was dengan nasibnya sebagai pendidik?
Selain itu, UU BHP akan memperkuat UU Guru dan Dosen untuk menyingkirkan orang-orang Indonesia dari negerinya sendiri. Bagaimana tidak? Dalam UU Guru dan Dosen, pendidik yang dibutuhkan adalah yang memiliki kompetensi profesional dan akademik. Sementara jika UU BHP disahkan apalagi diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang penggabungan BHP LN dan DN sesuai dengan UU Sisdiknas pasal 65 maka bias jadi guru-guru di negeri ini tidak bias mengajar lagi lantaran lembaga pendidikannya lebih memilih guru dari luar negeri yang lebih kompeten.
Selain itu, lembaga pendidikan dalam negeri tidak akan berpihak pada negerinya sendiri karena pada perpres no 76/77 disebutkan bahwa investasi asing bias masuk hingga 49%. Apabila ada 2% saja orang dalam negeri yang berkhianat terhadap negerinya maka kebijakan di lembaga tersebut otomatis akan dikuasai oleh kepentingan asing.
Australia dan Singapura telah merasakan keuntungan yang sangat besar dari bisnis di bidang pendidikan. Lebih dari 60% keuntungan negaranya berasal dari dunia pendidikan. Hal ini menjadi pemicu bagi Negara kapitalis lainnya untuk masuk ke Negara lain dalam bidang pendidikan.
Alasan lain bagi kita untuk menolak BHP adalah karena bersifat etatis, atas dasar penilaian pemerintah. Selain itu, pemerintah sangat berkepentingan untuk segera mengesahkan UU BHP ini sebelum 2010 guna memperoleh jaminan pinjaman untuk bias memenuhi 20% anggaran pendidikan. Lagi-lagi, pemerintah mengandalkan pinjaman luar negeri yang akan menjadi beban bagi generasi yang akan dating.
Belum lagi pasal-pasal yang menyebutkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Khususnya 1/3 untuk biaya operasional. Hal ini memperluas kesempatan lembaga pendidikan untuk menarik biaya dari peserta didik dan memperluas kesempatan pemerintah untuk tidak membuayai pendidikan. Maka, tiada kata lain selain tolak UU BHP.
Tawaran Solusi
UU Sisdiknas pasal 53 telah mengamanatkan dibentuknya UU badan hukum pendidkan. Padahal seperti yang telah kita telusuri bahwa produk UU BHP yang kemarin disahkan belum sesuai dengan filosofi dan sosiologi bangsa kita. Masih banyak penentangan dimana-mana. Selain itu, kita sadar dampak diberlakukannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember tersebut padahal telah disahkan 17 Desember 2008. Setelah melalui 30 hari maka UU ini akan diberlakukan. Untuk itu, solusi yang bias kita tawarkan adalah melakukan yudisial review yang berpijak pada pola pikir yang dilandasi falsafah pendidikan Indonesia. (bukan menjadikan lembaga pendidikan bak perusahaan).

2.Ujian Akhir Nasional
Permasalahan-permasalahan mengenai pendidikan formal di Indonesia dapat diibaratkan layaknya untaian benang kusut tiada berujung. Kekacauan-kekacauan yang terjadi semakin memperjelas betapa kita masih benar-benar kebingungan mencari format pendidikan nasional yang sesungguhnya, khususnya mengenai posisi UN dalam keseluruhan system pendidikan nasional.
UN masih dijadikan standar kelulusan dalam menempuh pendidikan khususnya pendidikan tingkat menengah. Sebenarnya sangat tidak adil apabila kelulusan hanya ditentukan dengan Ujian Nasional, karena bagaimanapun juga siswa telah menempuh pendidikan selama tiga tahun dengan berbagai mata pelajaran, tetapi semua hanya ditentukan dengan UN, dengan beberapa mata pelajaran yang dinilai ketetapan standar minimalnya.
Standar kelulusan untuk tahun 2008/2009 untuk tingkat SMA/MA dan SMK adalah 5,50 dengan tidak ada nilai dibawah 4,50, apabila ada salah satu mata pelajaran mendapat nilai 4,25 maka nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,25 (tw tabloid kabar kampus 06 April 2009). Jumlah mata pelajaran yang semula tiga mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran. Pertanyaan besar muncul. Dengan UN seperti itu apakah sekolah benar-benar layak disebut sebagai lembaga pendidikan? Apa kriteria kelulusan pendidikan hanya diukur dari segi segi kognitif (intelektual belaka)? Lalu dimana letak nilai agung pendidikan? Moralitas, kejujuran, kedisiplinan, tangung jawab, dll? Disinilah kiranya kita dapat menentukan format evaluasi pendidikan yang benar-benar sesuai, sebuah format evaluasi pendidikan yang berorientasi efektif.
Bila kita lihat UN tahun lalu banyak sekali siswa yang tidak lulus UN. Tidak sedikit siswa yang gagal itu adalah siswa berprestasi, hanya karena nilai UN-nya yang jeblok. Tetapi pada sesungguhnya dia adalah anak yang rajin, berkepribadian baik bahkan berprestasi. Semua itu sama sekali tidak dijadikan bahan pertimbangan untuk kelulusan, hanya melihat nilai UN saja. Kalau nilai tidak memenuhi standar maka dia sudah dinyatakan tidak lulus. Hal itu sangatlah tidak adil bagi mereka.
Para peserta yang tidak lulus ujian nasional yang tidak bisa memenuhi standar nilai kelulusan 4,25 ada beberapa yang nekat bunuh diri, ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekolah sendiri. Berita lain, SMK Negeri 1 Cilegon diharuskan mengulang UN karena ditemukan bukti ada Jockey UN, serta ada peserta yang ingin melukai gurunya (Kompas, 22/6/2007) mengapa itu terjadi? Pemicunya adalah tidak relevan.
Semua hal tersebut di atas bukan berarti menunjukkan bahwa UN tidak penting dan tidak perlu dilaksanakan, akan tetapi disinilah perlunya kita mensinergikan antara pentingnya UN, hakekatnya pendidikan dan keadilan bagi siswa. UN sebagai format evaluasi yang dilaksanakan secara nasional tetap penting untuk dilaksanakan sebagai upaya pemetaan dan alat diagnosa mengenai pendidikan nasional, khususnya persebaran mutu dan kualitas untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Berdasarkan hal tersebut maka UN bagaimanapun baik untuk dilaksanakan tetapi bukan dijadikan standar kelulusan. UN hanya dijadikan salah satu aspek penilaian kelulusan saja. Penilaian kelulusan siswa harus dilihat secara menyeluruh dengan pertimbangan prestasi dan sikap siswa selama menempuh pendidikan di sekolah sela tiga tahun, sehingga peran sekolah dalam hal ini guru mempunyai porsi tanggung jawab yang sangat besar.
Jika hal tersebut dapat dilaksanakan diharapkan evaluasi pendidikan benar-benar dapat dijadikan tolok ukur prestasi dan kemampuan siswa. Hal-hal negatif seperti ketidak jujuran (siswa, guru, orang tua), ketakutan dll benar-benar tidak terjadi dalam proses evaluasi pendidikan. Harapannya evaluasi pendidikan tidak menjadi “HANTU” yang menakutkan bagi siswa, guru dan semua pihak yang terkait.

PENUTUP
Arah kebijakan pendidikan nasional kedepan harus mampu menterjemahkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini membutuhkan sebauh sistem yang mampu dilaksanakan sampai tataran praktis pendidikan dan pengajaran di kelas. Ada 9 hal yang harus diperhatikan dalam upaya peningkatan upaya memajukan pendidikan nasional kedepan, yaitu:
1.Mencabut UU Badan Hukum Pendidikan
2.Menghapuskan UN sebagai salah satu penentu kelulusan
3.Mengeluarkan gaji guru dalam anggaran 20% pendidikan
4.Peningkatan profesionalime guru
5.Mencabut Peraturan Presiden No.77 tahun 2007, tentang investasi asing dalam dunia pendidikan.
Lima hal ini menjadi catatan yang harus disikapi oleh pemerintahan kedepan sebagai peningkatan ”akses serta mutu” pendidikan nasional.

HARAPAN PENDIDIKAN DI ALAM KAMPANYE CAPRES DAN CAWAPRES

Bangsa Indonesia menempatkan pendidikan dalam ruang strategis pembangunan. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan tujuan didirikan bangsa ini, salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini ditegaskan kembali dalam pembukaan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “ Setiap Warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Ini sudah sangat jelas, bahwa konstitusi Negara mengatur pendidikan sebagai hak dasar setiap warga Negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
Dalam pasal 31 secara utuh ada beberapa point penting bagi proses penyelenggaraan pendidikan nasional. Point pertama, Hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan. Kedua, kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar. Ketiga, pemerintah menyelenggarakan satu system pendidikan yang sesuai dengan UU. Keempat, kewajiban pemerintah memprioritaskan 20% anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Kelima, pemerintah memajukan IPTEK untuk kemajuan peradaban dan umat.
Sedikit menengok konstitusi dasar “pembukaan UUD 1945 pasal 31” secara indikator akan terbangun sebuah indikator akan terwujudnya salah satu cita-cita bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ndicator ini akan sirna saat melihat kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Kebijakan yang ada menyentuh semua aspek yang jauh dari ideal dalam peningkatan akses dan mutu pendidikan. Hal ini disebabkan adanya arah yang salah dalam membangun orientasi pendidikan nasional. Pendidikan yang bermutu sudah menjadi suatu barang konsumsi yang mahal karena adanya komersialisasi pendidikan yang jelas-jelas telah terjadi dalam praktek pendidikan di bangsa ini.
` Mencoba menilik kembali komitmen capres dan cawapres dalam membangun orientasi pendidikan ke depan. Kalau boleh menengok debat yang dilakukan oleh capres dan cawapres bersama Majelis Rektor Indonesia, visi dan misi pendidikan capres dan cawapres masih bersifat dangkal dan masih cukup normatif. Semua capres dan cawapres belum mampu menjangkau lebih dalam hal-hal spesifik yang menjadi titik point masalah-masalah pendidikan yang sampai hari ini masih menjangkiti pendidikan nasional.
Dengan sekian banyak masalah pendidikan yang semakin mendera bangsa kita. Ternyata pendidikan tidak terlalu menjadi isu yang menarik bagi capres dan cawapres dalam kampanye mereka. Memang ada pasangan calon yang sangat semangat untuk menolak UU BHP sebagai salah satu bentuk dari neoliberalisasi pendidikan. Namun, yang menjadi masalah dalam dunia pendidikan tidak hanya UU BHP yang notabene adalah isu populer.
Pertama, peraturan Presiden No.77 Tahun 2007 mengenai pendidikan sebagai ndica yang dapat dimasuki penanaman modal asing. Peraturan tersebut pada dasarnya menjadikan pendidikan sebagai komoditi perdagangan. Masuknya modal asing akan membawa efek masuknya ndica pendidikan asing. Ini jelas mengancam tujuan pendidikan nasional, utnuk itu Peraturan Presiden No.77 Tahun 2007 mutlak harus dicabut.
Kedua, alokasi 20% anggaran pendidikan mengalami penelikungan semangat peningkatan mutu dan akses pendidikan dengan memasukkan gaji guru di dalamnya. Ini jelas pengingkaran semangat UUD 1945 pasal 31 yang menyebutkan bahwa pemerintah wajib mengalokasikan paling sedikit 20% anggaran pendidikan melalui APBN dan APBD. Anggaran 20% tersebut seyogianya bisa untuk membangun laboratorium yang baik, menyediakan media pembelajaran, perpustakaan, dan fasilitas lain yang mendukung peningkatan mutu pendidikan.
Ketiga, profesionalisme pendidik merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya otonomi di tingkat satuan pendidikan dengan adanya KTSP membutuhkan guru-guru professional dalam menterjemahkan orientasi pendidikan dalam ruang-ruang pembelajaran di kelas. Sertivikasi guru merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Namun, dalam perjalanannya sertivikasi guru hanya mampu meningkatkan kesejahteraan guru saja.
Keempat, UU BHP yang disahkan 16 Desember 2008 merupakan kebijakan yang menegaskan pendidikan akan menjadi komoditi dagang. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga Negara dengan pembiayaan dari pemerintah. Pemerintah seolah melepas t tanggung jawabnya untuk membiayai pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini jelas akan membatasi hak rakyat miskin untuk dapat mengakses pendidikan, walaupun ada jaminan 20% di setiap satuan pendidikan. Pendidikan berkualitas menjadi sesuatu yang mewah dan susah terjangkau oleh rakyat miskin, karena tanggungan biaya yang dibebankan pada peserta didik.
Kelima, UN mutlak untuk dihapuskan sebagai salah satu indikator penentu kelulusan. Pendidikan yang berfungsi membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan tanggung jawab. UN jelas-jelas mengaburkan fungsi pendidikan seperti yang tertera di atas, karena menitik beratkan pada aspek kognitif saja. KTSP yang mengedepankan otonomi di tingkat satuan pendidikan juga tidak sesuai dengan system evaluasi yang terpusat.
Lima hal di atas adalah permasalahan mendesak yang harus segera dituntaskan. Jaminan mutu dan akses pendidikan jelas harus dipenuhi oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan. Kebijakan-kebijakan mendasar harus diambil oleh presiden kedepan. Pemilu capres dan cawapres menjadi momentum strategis dalam menata ulang pendidikan nasional, minimal 5 tahun kedepan. Apakah presiden ke depan akan berani untuk menghapuskan Peraturan Presiden No.77 tahun 2007, mengeluarkan gaji guru dalam 20% anggaran pendidikan, meningkatkan profesionalisme guru “memperjelas fungsi sertivikasi guru”, menghapuskan UU BHP “merevisi UU Sisdiknas pasal 53”, dan menghapuskan UN sebagai salah satu indikator penentu kelulusan? Kita tunggu saja! Koordinator Bidang Pendidikan BEM SI

Kamis, 06 Agustus 2009

RELEASE KONTRAK POLITIK BEM SI (Tujuh Gugatan RAKYAT)

Pada 10 Juni 2009 yang lalu, mahasiswa dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi di Jakarta. Aksi digelar di bundaran Hotel Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan long march ke depan kantor KPU Pusat. Selanjutnya aksi dilanjutkan menuju tempat deklarasi kampanye damai di Hotel Bidakara. Dalam aksi tersebut, perwakilan dari BEM SI berhasil memberikan draf Tujuh Gugatan Rakyat kepada semua tim sukses masing-masing calon untuk dipelajari terlebih dahulu. Aksi ini bertepatan dengan deklarasi kampanye damai yang dilakukan capres dan cawapres di Hotel Bidakara
Dalam pengawalan pilpres, BEM SI meminta seluruh pasangan Capres dan Cawapres menandatangani Tujuh Gugatan Rakyat (TUGU RAKYAT) sebagai agenda mendesak yang harus segera dituntaskan lima tahun ke depan dalam agenda pembangunan Indonesia siapa pun presiden. Dan, Tujuh Gugatan Rakyat (TUGU RAKYAT) adalah satu-satunya kontak politik yang dilakukan oleh BEM SI.
Inilah Tujuh Gugatan Rakyat yang menjadi kontrak politik BEM SI: (1) Nasionalisasi aset strategis bangsa, (2) Wujudkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. (3) Tuntaskan kasus BLBI dan korupsi Suharto beserta kroni-kroninya sebagai perwujudan kepastian hukum di Indonesia, (4) Kembalikan kedaulatan bangsa pada sektor pangan, ekonomi, dan energi, (5) Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok bagi rakyat, (6) Tuntaskan reformasi birokrasi dan berantas mafia peradilan, (7) Selamatkan lingkungan Indonesia dan tuntut Lapindo Brantas untuk mengganti rugi seluruh dampak Lapindo.
Seiring dengan waktu, ternyata banyak muncul kontrak-kontrak politik yang dilakukan oleh elemen-elemen gerakan lain. BEM REMA UNY atas nama koordinator bidang pendidikan BEM SI ingin mempertegas sikap, seiring dengan banyaknya kontrak politik untuk mencabut UU BHP. BEM SI tidak pernah melakukan kontrak politik dengan pasangan capres dan cawapres untuk mencabut UU BHP. Dan, ketika selama ini ada gerakan yang melakukan kontrak politik dengan capres dan cawapres untuk mencabut UU BHP. Maka itu bukan Aliansi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Dan, kami selaku kordinator bidang pendidikan BEM SI siap kapan pun untuk dimintai keterangan berkaitan hal tersebut. Terima kasih.
BEM REMA UNY
Koordinator Bidang Pendidikan BEM SI

PENDIDIKAN : SARANA STRATEGIS PEMBANGUNAN KARAKTER

oleh Education Center BEM ReMa UNY

PENDAHULUAN
Sejak 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, terlepas dari belenggu penjajahan asing. Dalam tujuan pendirian negara, bangsa ini memiliki harapan besar untuk tercapainya perlindungan segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, kemajuan dan kesejahteraan umum, kehidupan bangsa yang cerdas, dan perdamaian. Akan tetapi, sudah 64 tahun negeri ini merdeka, cita-cita tersebut serasa masih jauh dari harapan. Betapa banyak pulau-pulau yang telah kita lepaskan. Tidak hanya Sipadan dan Ligitan tetapi banyak pulau lain lepas gara-gara tidak bernama. Betapa banyak utang, kasus korupsi, dan undang-undang pesanan asing. Tahun 2007, angka kemiskinan kita masih mencapai 16,58%. Index Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2008 sangat rendah, yaitu 2,6. Hal ini berarti kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi untuk tidak korupsi sangat rendah. Menurut WALHI, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Hal ini semakin diperparah dengan keluarnya PP No.2 tahun 2008 tertanggal 4 februari 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan, yang mengizinkan pembukaan hutan untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp.120,--Rp.300,- per meter persegi per tahun. Konflik sosial, antaretnis dan SARA semakin merebak mengikuti krisis ekonomi 1998 yang sampai saat ini belum memberikan perubahan yang signifikan. Padahal saat itu, tidak hanya Indonesia1 yang mengalami krisis. Malaysia, Korea Selatan2, dan Thailand3 mengalami krisis ekonomi yang sama tetapi mereka mampu bangkit dalam waktu relatif singkat. Keterpurukan bangsa ini tiada lain karena pada hakekatnya kita mengalami krisis karakter (Gedhe Raka, 1997:1). Jikalau Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand lebih cepat bangkit karena mereka hanya mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi dapat diselesaikan dengan kebijakan ekonomi. Akan tetapi, akar krisis ekonomi Indonesia jauh lebih dalam yaitu krisis karakter.

HAKIKAT PENDIDIKAN4
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa harapan besar masyarakat terletak pada karakter tiap individu. Ungkapan ini bila diartikan secara lebih luas mengandung makna bahwa tiap individu berperan dalam pembangunan peradaban. Hal ini karena masyarakat sendiri terdiri dari individu sehingga untuk membangun masyarakat, peran tiap individu sangat dibutuhkan.
Di dalam lingkungannya, individu dituntut untuk beradaptasi. Adaptasi yang dilakukan oleh manusia ini akan membentuk peradaban, sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Peradaban ini berupa sistem-sistem simbolik (matematika, bahasa, musik), budaya, serta aturan-aturan sosial yang dibuat oleh manusia dan mengarahkan tingkah laku manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang dalam arti yang sangat luas adalah dunianya. Vygotsky (dalam Miller, 1999) dalam perkembangan dan adaptasi manusia dalam lingkungan tempat tinggalnya, fungsi kognisi manusia berperan di dalamnya. Pengendalian kognisi manusia ini diatur dalam suatu fungsi mental yang disebut sebagai higher mental function. Higher mental function ini berkembang melalui proses internalisasi, dimana hal-hal yang ada di luar individu menjadi bagian dari individu itu sendiri. Hal yang diinternalisasi oleh manusia adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup dan internalisasi ini mampu terjadi bila individu di masa awal hidupnya mendapatkan guidance dari orang-orang di sekitarnya. Guidance inilah yang termanifestasikan dalam pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Bangsa yang hidup seperti layaknya individu, harus terus mengarah kepada kemajuan, baik dalam pemikiran maupun tindakan. Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya dan persatuan”. Prof. Wuryadi menambahkan bahwa pada dasarnya manusia baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedang ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram. Para psikolog humanistis seperti Maslow dan Rogers pun juga beranggapan bahwa perkembangan diri adalah tujuan tertinggi dari tiap individu. Dan perkembangan diri, pembentukan karakter dan pemenuhan potensi bisa didapatkan melalui pendidikan. Pendidikan yang progresif adalah menyerukan penataan kembali masyarakat dan bangsa. Pembangunan sektor pendidikan harus menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, pendidikan hendaknya dapat menjadi sarana pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya sebagai subyek yang bermutu dan berdaya saing tinggi.

HAKEKAT KARAKTER
Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Pendapat lain berasal dari Doni Koesoema A (2007:80) yang menganggap bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Winnie yang juga dipahami oleh Ratna Megawangi, menyampaikan bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
Sedangkan definisi karakter menurut Victoria Neufeld & David B. Guralnik yang dikutip oleh I Gede Raka adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat.
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.

PENDIDIKAN KARAKTER
Seperti disampaikan di atas bahwa pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Jadi, pendidikan merupakan sarana strategis dalam pembentukan karakter. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Ki Supriyoko (2004:419) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sarana strategis untuk meningkatkan kualitas manusia.
Untuk dapat memahami pendidikan karakter itu sendiri, kita perlu memahami struktur antropologis yang ada dalam diri manusia (Doni Koesoema A, 2007:80). Adapun struktur antropologis manusia terdiri atas jasad, ruh, dan akal. Hal ini selaras dengan pendapat Lickona (1992) yang menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Istilah lainnya adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk itu, dalam pendidikan karakter harus mencakup semua struktur antropologis manusia tersebut.
Lantas karakter seperti apa yang dapat dijadikan teladan? Berbicara tentang karakter maka kita berbicara tentang manusia. Manusia yang layak dijadikan teladan adalah nabi. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri tetapi bagaimana dapat berkontribusi sebanyak mungkin untuk masyarakat. Kita mendapati dari 100 orang yang berpengaruh di dunia, Muhammad dan Isa menempati posisi atas. Jika kita kontekskan ke Indonesia maka para pahlawan, pendiri bangsa kita adalah orang-orang yang sangat meneladani para nabi. Maka karakter yang paling ideal adalah intelektual profetik.
Seorang intelektual profetik memiliki karakter sebagai berikut:
1.Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan
Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2.Cinta Tuhan
Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3.Bermoral
Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4.Bijaksana
Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5.Pembelajar sejati
Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6.Mandiri
Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7.Kontributif
Kontributif nerupakan cermin seorang pemimpin.
Dalam mewujudkan pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa penanaman nilai-nilai (Azyumardi Azra, 2002:175). Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Ratna Megawangi menamakannya "9 Pilar Karakter", yakni
1.cinta Tuhan dan kebenaran,
2.bertanggung jawab, berdisiplinan, dan mandiri,
3.mempunyai amanah,
4.bersikap hormat dan santun,
5.mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama,
6.percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah,
7.mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan,
8.baik dan rendah hati,
9.mempunyai toleransi dan cinta damai.
Paterson dan Seligman seperti yang dikutip oleh I Gede Raka, mengidentifikasikan 24 jenis karakter yang baik atau kuat (character strength). Karakter-karakter ini diakui sangat penting artinya dalam berbagai agama dan budaya di dunia. Dari berbagai jenis karakter, untuk Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat penting dan sangat mendesak dibangun dan dikuatkan sekarang ini yaitu: kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat belajar, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia selama ini yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar yang rendah.
Sedangkan Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan Jum’at, 19 Juni 2009 mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi:
1.God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya)
2.Knowing Yourself (memahami diri sendiri)
3.Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral)
4.Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami)
5.A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain)
6.Sense of belonging
7.Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu)
8.Dien for All Times & Places
9.Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq)
10.Making a Difference (membuat perbedaan)
11.Taking the Lead
Adapun nilai-nilai yang perlu diajarkan pada anak menurut Dr Sukamto meliputi:
1.Kejujuran
2.Loyalitas dan dapat diandalkan
3.Hormat
4.Cinta
5.Ketidak egoisan dan sensitifitas
6.Baik hati dan pertemanan
7.Keberanian
8.Kedamaian
9.Mandiri dan Potensial
10.Disiplin diri dan Moderasi
11.Kesetiaan dan kemurnian
12.Keadilan dan kasih sayang
Selain itu, Kuntowijoyo juga merumuskan nilai-nilai profetik yang meliputi transendensi, humanisasi, dan liberasi (Moh. Shofan:2004). UNY sendiri mengharapkan lulusannya supaya menjadi pribadi-pribadi yang cendekia, mandiri, dan bernurani.
Agar dapat dijadikan ukuran yang benar, sesungguhnya karakter individu juga bisa dilihat sebagai konsekuensi karakter masyarakat. Kalau karakter masyarakat dan karakter bangsa akan ikut menentukan karakter individu, maka sasaran pendidikan karakter akan lebih banyak diarahkan pada masyarakat atau bangsa.
Bangsa Indonesia menyepakati nilai-nilai yang diusung menjadi pandangan filosofis kehidupan bangsanya. Nilai-nilai itu meliputi : (1). Ketuhanan yang maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradap, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini selaras dengan nilai-nilai berikut yang kita sebut sebagai 5 pilar karakter :
1.Transendensi
Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Darinya akan memunculkan penghambaan semata-mata pada Tuhannya yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu memakmurkannya.
2.Humanisasi
Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi.
3.Kebinekaan
Kesadaran akan ada sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan
4.Liberasi
Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Olehnya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia.
5.Keadilan
Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional.

PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI INDONESIA
Menurut Prof. Wuryadi, sebenarnya, pembangunan karakter bangsa mulai dikumandangkan sebagai bagian dari program nasional bangsa dan pemerintah Indonesia sejak awal negara ini lahir. Tetapi, program ini belum selesai karena banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan. Indonesia dengan kekayaan alamnya akan sulit dikuasai manakala bangsanya memiliki karakter yang kuat. Oleh karena itu, kondisi bangsa kita dibuat semakin tajam krisis karakternya. Menurut Gedhe Raka, krisis karakter bangsa kita disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.Terlampau terlena oleh Sumber Daya Alam yang melimpah.
2.Pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik.
3.Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme ‘overdoses’.
4.Kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri

FUNGSI KARAKTER
Selain memperkecil resiko kehancuran, karakter juga menjadi modal yang sangat penting untuk bersaing dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat di tengah-tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa Jepang cepat bangkit sesudah kekalahannya dalam Perang Dunia II dan meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karakterlah yang membuat bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua bangsa yang secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan Amerika. Pembangunan karakterlah yang membuat Korea Selatan sekarang jauh lebih maju dari Indonesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi dan teknologi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang membuat para pejuang kemerdekaan berhasil menghantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya (Gedhe Raka, 1997:1).


Referensi:
Achmad Fedyani Saifuddin dan Mulyawan Karim.(2008). Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia.

Ayumardi Azra.(2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.

Doni Koesoema A. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

Gedhe Raka. (1997). Pendidikan Membangun Karakter. Bandung. Makalah Tidak dipublikasikan.

Moh. Shofa.(2004).Pendidikan Berparadigma Profetik.Yogyakarta:IRCiSoD.

Pusgerak BEM UI 2007, Pusgerak BEMUI 2008, Yustisia Rachman, Rimas Kautsar, Fitri Arlinkasari. (2009). Kajian UU Badan Hukum Pendidikan. Tidak dipublikasikan.

Tim Penyusun. (1993). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UPP UNY.

Wuryadi. ( ). Pendidikan untuk Membangun Bangsa Dan Wataknya. Makalah tidak dipublikasikan.





”Kata kunci di era knowledge based society/economy adalah knowledge creation dan sharing culture. Budaya ini lahir dari kesadaran (intrinsic motivation, IM). Bukan terpaksa dari luar (extensic). IM sendiri merupakan refleksi karakter-karakter luhur yang terbentuk melalui proses yang panjang. Disinilah ketika kita bicara tentang SDM yang dapat bersaing secara global maka pendidikan karakter menjadi imperatif. Knowledge is power, but character is more.”(Prof. Shohibul Iman, Dosen Paramadina)

“Selama dimensi karakter tidak menjadi bagian dari kriteria keberhasilan dalam pendidikan, selama itu pendidikan tidak akan berkontribusi banyak dalam pembangunan karakter”
(I Gedhe Raka, Guru Besar ITB)

”Dalam kenyataanya, pendidik berkarakterlah yang menghasilkan SDM handal dan memiliki jati diri. Oleh karena itu, jadilah memiliki jati diri. Oleh karena itu, jadilah pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas.”( Prof. Dr. H. Furqon Hidayatullah, M. Pd, Dekan FKIP UNS, penulis buku pendidikan karakter)

”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (mengejewantah) dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) adalah JUJUR, SABAR, RENDAH HATI, TANGGUNG JAWAB dan RASA HORMAT, yang tercermin dalam kesatuan organisasi harmonis dinamis. Tanpa nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan yang dimilikinya. Kita memanggandrung untuk membangun, tumbuh dan berubah, namun bukan denganharga setinggi harga penghancur eksistensi, esensi diri dan karakter kita sendiri. Kita ingin mengenyam dan bila mungkin menyambung kemenangan ilmu dan teknologi, tetapi bukan kemenangan semu yang secara ”built-in” mengandung kekalahan total dari sudut nilai-nilai insani. Kemenangan semu jangka pendek akan menjadi bumerang kerugian jangka panjang (Dwi Siswoyo M. Hum, Dosen FIP UNY)

Training Centre sebelum PIMNAS

Jum’at, 17 Juli 2009
Entah kenapa beberapa hari sebelum PIMNAS luntur semangat itu tidak ada sama sekali. Ada apa ini gerangan? Pada tanggal 10 s.d. 12 Juli 2009 dari rektorat UNY mengadakan TC (training Centre) untuk menyiapkan beberapa bekal yang harus dibuat utnuk pergi ke PIMNAS danbeberapa pengumuman lainya. Berangkatnya yang seharusnya pukul 14.00 WIB aku terlambat dan berangkat pukul 21.00 WIB karena mengerjakan proposal KKN di BEM, belum bisa terpisah dari agenda KKN untuk focus ke dalam PIMNAS. Jiwa-jiwa semangat itu hilang entah kemana.
Pada saat mulai kegiatan TC aku cukup kaget, karena memang kami tidak tahu agendanya aka nada apa aja? Ternyata kami di karantina untuk menyiapkan poster dan presentasi untuk di PIMNAS nantinya. Dari semua kelompok yang ada, hanya kelompokku yang belum buat apapun, bingung, padahal dalam rencana kita bertiga itu akan kita laksanakan minggu depan. Fuh.. haru buat nih, dan TC berakhir sampai pukul 1 pagi tiap harinya. Hari ke 2 TC semangat itu belum muncul, ingin sekali membuat susatu hal sehingga timbul motivasi dari luar. Siangnya aku keluar dari TC (padahal tidak dibolehkan) untuk ngenet dan ketemu teman untuk mengerjakan proposal di BEM. Dan pulang ke TC sore hari pada saat menjelang magrib.
Malam harinya, benar apa yang terjadi, karena entah apa yang aku katakan seorang dosen mulai memberikan sebuah cerita yang membaut aku termotivasi. Karena pada pagi harinya kami pas presentasi di kasih masukan yang menusuk di hati, yaitu karya kami dikatakan anak SD aja bisa buat, ngapain harus ad aide itu? Malam itu juga dapatlah aku semangat itu, semalaman ku selesaikan semuanya, presentasi dan poster siap untuk di presentasikan pagi harinya…
Tiga hari yang panjang dalam TC, tetapi pasca TC kami tetap berusaha latihan untuk presentasi dan menyiapkan apa yang belum siap, dua kali kami presentasi di depan dosen lainya, grogi nya bisa hilang, tapi tidak tahu apakah nantinya juga akan hilang..kita lihat aja di PIMNAS…tinggal beberapa hari lagi.

Keterima PIMNAS 2009

Senin, 6 Juli 2009
Entah apa yang aku pikirkan saat itu, pada malam jum’at yang sepi hp ku berbunyi, salah satu teman kelompok yang ku ajak untuk buat PKM GT sms, saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Dia berkata “mas PKM kita masuk PIMNAS”. Glek….saat itu juga aku tidak percaya, sampai aku menanyakan hal ini hamper 4 kali berulang. Heran dan bingung, apakah ini mimpi. Terpaksan karena tidak yakin, aku pergi ke internet malam itu juga, waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB, aku nge net di 3 km dari ruamah ku. Heran, bahagia, merasuk dalam hatiku malam itu, entah kenapa PKM GT yang aku usulkan pada bulan maret lalu diterima masuk PIMNAS dan dapat penghargaan. Padahal karyanya tidak terlalu bagus, bahkan dari dalam tulisanya masih banyak kesalahan yang terjadi. Inilah keajaiban yang ingin ditunjukkan Allah kepadaku akan kebesaranya. Salah satu dari ribuan mimpiku terjawab sudah untuk masa kampus, adalah mengikuti PIMNAS dan juara.
PKM ku berjudul PEMODELAN PEMILU LEGISLATIF 2009 SEBAGAI SOLUSI MENGETAHUI WAKTU YANG DIBUTUHKAN DALAM PEMUNGUTAN SUARA. Mungkin keunggulan dari karya ini adalah tepat pada saat momentum pesta demokrasi ini berlangsung, itulah salah satu kelebihan yang aku sadari untuk saat itu. Berjalannya waktu, beberapa temanku pun kaget, bahkan dengan mengatakan “pertama kalinya menteri sospol BEM ikut PIMNAS dengan status PESERTA”.
Perjalanan ini dilanjutkan dengan beberapa kali koordinasi dengan teman-teman satu kelompok, untuk menyiapkan apa-apa yang harus segera disiapkan, tetapi memang karena sibuknya KKN dan agenda di BEM membuat ku sulit untuk bergerak leluasa seperti teman yang lain. Hanya bisa sore hari. Tetapi itu tidak menyurutkan semangan kami bertiga untuk mengapai mimpi itu bersama..semangat...go to PIMNAS 2009.