Pages - Menu

Kamis, 04 Februari 2010

Ujian Nasional Antara Ada Dan Tiada


oleh: Amirudiin Shafa

“mencerdaskan kehidupan bangsa” itulah salah satu cita-cita yang pernah dikumandangkan Soekarno pada tahun 1945 saat UUD 1945 dirancang.
Ujian Negara, itulah sebuah system evaluasi pembelajaran yang diterapkan sejak masa penjajahan sampai tahun 1971. Ujian ini diterapkan secara nasional, dan hasil banyak sekali siswa yang tidak lulus karenanya. Setelah tahun 1971, kelulusan seorang siswa diberikan kepada sekolah masing-masing. Hal ini berlangsung selama 20 tahun dan bisa dilihat semua siswa lulus semua. Pada tahun 1992 mulailah diterapkan EBTANAS, dimana kelulusan ditentukan bersama sekolah ditambah dengan ujian nasional. Sampai tahun 2002 muncullah koreksi dan dinamakan Ujian Nasional dimana diambil beberapa mata pelajaran yang sifatnya nasional, diuji secara nasional, sementara yang lain diuji oleh sekolah.

Tekanan ujian nasional

Sejak Ujian Nasional diterapkan tahun 2003 dengan standar kualitas dinaikkan 0,5 persen per tahun, siswa salah satu dari beberapa elemen yang menerima dampak dari tekanan Ujian Nasional ini. Tekanan itu membuat siswa melakukan hal yang negatif. Mulai dari membawa contekan, mencontek teman, bahkan pergi ke dukun pun dilakukan. Selain melakukan hal yang negatif, ujian nasional juga membuat siswa benar-benar stress dengan ancaman ketidak lulusan mereka. Mulai dari melampiaskan amarah dengan membakar sekolahan mereka samapi ada yang melakuakan bunuh diri karena tekanan dari Ujian Nasional ini. Tidak hanya siswa, guru pun juga terjebak perilaku negative untuk menyelamatkan nama baik sekolah, dengan membantu memberikan jawaban pada siswa saat ujian nasional berlangsung, seperti dikutip dari (Kompas, 22/6/2007) SMK Negeri 1 Cilegon diharuskan mengulang UN karena ditemukan bukti ada Jockey UN. Ada apa dengan sistem yang kita bentuk? Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan kita untuk membentuk siswa yang semangat belajar, dan meningkatnya kualitas pendidikan disetiap sekolahan.

Tekanan ini pun muncul sampai berpuncak pada pengaduan kepada Mahkamah Agung dan diputuskan penolakan adanya Ujian Nasional pada November 2009 lalu. Luapan penolakan pun bermunculan ke permukaan, aksi turun ke jalan pun dilakukan oleh berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, siswa dan guru. Bahkan gerakan penolakan ini pun muncul dalam jejaring sosial dalam internet seperti facebook sampai pembuatan lagu tolakujian nasional (http://www.youtube.com/watch?v=_SxqzDKekcQ).

Tidak sebagai satu-satunya syarat kelulusan
Harus ada sebuah sebuah angka sebagai bentuk nilai dari setiap proses. Karena untuk melihat hasil dari sebuah proses itu masih berupa dekriptif, akan cukup kesulitan kita menilainya. Ujian nasional itu penting untuk standarisasi pendidikan nasional. Dengan standarisasi itu maka kita akan mendapatkanya peningkatan SDM yang ada di Indonesia yang tergus digerus oleh tantangan global. Tetapi yang menjadi masalah disini adalah UN menjadi satu-satunya syarat kelulusan dan standar kelulusan yang dinasionalkan. Karena kita tidak tau kondisi siswa saat itu apakah baru bisa berfikir maksimal untuk menghadapi ujian nasional ataukah baru sakit, sehingga para siswa tidak dapat mengerjakan soal ujian nasional tersebut. Padahal mereka belajar untuk mendapatkan ilmu itu selama 3 tahun, dan sekarang hanya ditentukan dalam beberapa jam dalam 3 hari ujian nasional saja. Tidak hanya itu, dampak dari ujian nasional yang memilih beberapa mata pelajaran saja itu membuat adanya ekslusifitas mata pelajaran yang di berikan kepada siswa. setiap sekolah berbondong-bondong untuk memberikan pelajaran tambahan yang berlebih untuk mata pelajaran yang di ujian nasionalkan. Padahal selai dari mata pelajaran itu, ada banyak pelajaran yang cukup penting untuk ditinggalkan seperti pendidikan agama dan kewarganegaraan. Hal ini membuat siswa tidak cukup memahami pendidikan moral yang ada. Hal ini jelas jika melihat terlalu maraknya kecurangan yang dilakukan pada saat ujian nasional berlangsung. Selain hal itu, ujian nasional juga dirasa tidak adil jika dilihat dari pemerataan fasilitas dan kualitas sekolah yang menyelenggarakan ujian nasional. Seperti sekolah di papua dibandingkan dengan sekolah di Jakarta akan cukup berbeda hasilnya jika fasilitas dan kualitas sekolahnya saja berbeda.

Dari sinilah sangat diperlukan sinergitas antara pentingnya ujian nasional, hakekat pendidikan dan keadilan bagi siswa. Ujian nasional sebagai format evaluasi pembelajaran secara nasional harus tetap dilaksanakan sebagai upaya pemetaan dan alat diagnosa mengenai pendidikan nasional. Tetapi tidak sebagai satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa. Ujian nasional hanya dijadikan salah satu aspek penilaian kelulusan saja. Penilaian kelulusan siswa harus dilihat secara menyeluruh dengan pertimbangan prestasi dan sikap siswa selama menempuh pendidikan di sekolah sela tiga tahun, sehingga peran sekolah dalam hal ini guru mempunyai porsi tanggung jawab yang sangat besar dan peran pemerintah pun ada dalam hal ini.
jika hal seperti ini dilaksanankan, maka harapanya hal-hal seperti kecurangan dan dampak psikologi siswa terhadap tekanan ujian nasional ini bisa terselesaikan.