Pages - Menu

Sabtu, 08 Agustus 2009

UU BHP Hancurkan Karakter Bangsa

Pendidikan merupakan penentu peradaban. Ia tidak bisa terpisah dari kehidupan setiap umat manusia termasuk bangsa Indonesia (Driyarkara, 1980:32). Ialah yang akan mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas sesuai dengan tujuan didirikannya negeri ini. Untuk itu, pendidikan haruslah menjadi perhatian utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.dan menjadi acuan dalam pengambilan setiap kebijakan di negeri ini.
Negara-negara yang telah sadar akan pentingnya pendidikan mengambil tindakan: memberikan perhatian utama pada bidang ini di negerinya dan/atau memanfaatkan pentingnya pendidikan ini untuk memasukkan ideology mereka atau untuk menghancurkan Negara lain kemudian menguasainya. Tindakan terakhir yang nampaknya ditunjukkan oleh Negara-negara kapitalis terhadap Indonesia. Hal ini karena Indonesialah yang bersedia menerapkan liberalisasi khususnya di bidang pendidikan di saat ideology kapitalis berada di ambang kehancuran.
Amerika latin telah mengambil kebijakan untuk mengelola kekayaan negerinya sendiri tanpa campur tangan para korporat. Mereka memahami betul kehancuran ideology kapitalisme sehingga perlu memutus hubungan dengan Negara-negara kalitalis. Ternyata mereka mengakui bahwa ide untuk menjadi mandiri pada dasarnya berasal dari Indonesia. Akan tetapi, pada saat ini, Indonesialah Negara yang terang-terangan menawarkan liberalisasinya bahkan dalam dunia pendidikannya. Pada bulan Desember 2005, dalam perundingan WTO di Hong Kong, Pemerintah Indonesia menawarkan liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan dan teknik, pendidikan tinggi kejuruan dan teknik, dan pendidikan tinggi. Penawaran ini merupakan konsekuensi dari Pasal 65 UU Sisdiknas yang menganut asas globalisasi pendidikan. General Agreement of Trade in Services (GATS) yang merupakan lanjutan pelaksanaan dari UU No. 7 Tahun 1994 juga menetapkan pendidikan sebagai industri jasa yang bebas dari intervensi pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dalam perjanjian tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan budaya yang nirlaba, tetapi adalah salah satu industri jasa atau komoditi ekonomi. Apa jadinya bangsa ini jikalau pendidikan dijadikan sebagai komoditas jasa? Untuk itu, kita harus memutus mata rantai legalitas liberalisasi di Indonesia
Secara filosofis, UU BHP jelas-jelas bertentangan dengan filosofi pendidikan di Indonesia. Dari keseluruhan pasal khususnya pasal 56 s.d 59 UU BHP sangat diwarnai dengan pola pikir korporasi, perusahaan. Lembaga pendidikan dianggap bak perusahaan yang mencetak peserta didiknya ibarat barang yang siap diperjualbelikan. Maka UU BHP ini merupakan pengkhianatan terhadap tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pola pikir perusahaan tersebut, pendidikan hanya akan mencetak generasi bangsa ini seperti robot yang tidak memiliki kehendak pribadi. Bahkan tidak akan mampu mengenal negerinya sendiri.
Dengan diterapkannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember ini akan mewarnai seluruh proses pendidikan di negeri ini dengan jiwa kompetisi. Hal ini sangat tidak sesuai dengan karakter bangsa kita. Kompetisi berarti menganggap orang lain sebagai saingan dan musuh yang harus ditumbangkan demi dirinya yang nomor satu. Hal ini sangat bertentangan dengan karakter bangsa kita yang sejak awal meyakini bahwa kehidupan yang sinergis adalah kehidupan yang sesuai dengan hakekat manusia dan akan membawa pada kebahagiaan. Bangsa Indonesia sejak awal mengenal gotong royong sebagai karakter bangsa ini. Dan tidak akan ada lagi ketika kehidupan bangsa ini telah diliputi oleh budaya kompetisi.
Pola pikir perusahaan juga terlihat dalam penggunaan pendidik dan tenaga kependidikan seperti dalam BAB VIII. Pendidik dan tenaga kependidikan akan disamakan dengan buruh pabrik yang bekerja atas dasar kontrak kerja dengan pemimpin organ pengelola BHP. Dengan demikian, nasib pendidik di Indonesia semakin tidak jelas. Bagaimana mereka dapat mencurahkan diri untuk mendidik generasi bangsa menjadi orang yang cerdas apabila mereka sendiri masih was-was dengan nasibnya sebagai pendidik?
Selain itu, UU BHP akan memperkuat UU Guru dan Dosen untuk menyingkirkan orang-orang Indonesia dari negerinya sendiri. Bagaimana tidak? Dalam UU Guru dan Dosen, pendidik yang dibutuhkan adalah yang memiliki kompetensi profesional dan akademik. Sementara jika UU BHP disahkan apalagi diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang penggabungan BHP LN dan DN sesuai dengan UU Sisdiknas pasal 65 maka bias jadi guru-guru di negeri ini tidak bias mengajar lagi lantaran lembaga pendidikannya lebih memilih guru dari luar negeri yang lebih kompeten.
Selain itu, lembaga pendidikan dalam negeri tidak akan berpihak pada negerinya sendiri karena pada perpres no 76/77 disebutkan bahwa investasi asing bias masuk hingga 49%. Apabila ada 2% saja orang dalam negeri yang berkhianat terhadap negerinya maka kebijakan di lembaga tersebut otomatis akan dikuasai oleh kepentingan asing.
Australia dan Singapura telah merasakan keuntungan yang sangat besar dari bisnis di bidang pendidikan. Lebih dari 60% keuntungan negaranya berasal dari dunia pendidikan. Hal ini menjadi pemicu bagi Negara kapitalis lainnya untuk masuk ke Negara lain dalam bidang pendidikan.
Alasan lain bagi kita untuk menolak BHP adalah karena bersifat etatis, atas dasar penilaian pemerintah. Selain itu, pemerintah sangat berkepentingan untuk segera mengesahkan UU BHP ini sebelum 2010 guna memperoleh jaminan pinjaman untuk bias memenuhi 20% anggaran pendidikan. Lagi-lagi, pemerintah mengandalkan pinjaman luar negeri yang akan menjadi beban bagi generasi yang akan dating.
Belum lagi pasal-pasal yang menyebutkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Khususnya 1/3 untuk biaya operasional. Hal ini memperluas kesempatan lembaga pendidikan untuk menarik biaya dari peserta didik dan memperluas kesempatan pemerintah untuk tidak membuayai pendidikan. Maka, tiada kata lain selain tolak UU BHP.
Tawaran Solusi
UU Sisdiknas pasal 53 telah mengamanatkan dibentuknya UU badan hukum pendidkan. Padahal seperti yang telah kita telusuri bahwa produk UU BHP yang kemarin disahkan belum sesuai dengan filosofi dan sosiologi bangsa kita. Masih banyak penentangan dimana-mana. Selain itu, kita sadar dampak diberlakukannya UU BHP hasil rumusan 11 Desember tersebut padahal telah disahkan 17 Desember 2008. Setelah melalui 30 hari maka UU ini akan diberlakukan. Untuk itu, solusi yang bias kita tawarkan adalah melakukan yudisial review yang berpijak pada pola pikir yang dilandasi falsafah pendidikan Indonesia. (bukan menjadikan lembaga pendidikan bak perusahaan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar