Oleh; TIM Kajian Risert dan Eksperimen Educatian Centre BEM Universitas Negeri Yogyakarta
Permasalahan-permasalahan mengenai pendidikan formal di Indonesia dapat diibaratkan layaknya untaian benang kusut tiada berujung. Kekacauan-kekacauan yang terjadi semakin memperjelas betapa kita masih benar-benar kebingungan mencari format pendidikan nasional yang sesungguhnya, khususnya mengenai posisi UN dalam keseluruhan system pendidikan nasional.
Hal ini dikarenakan UN masih dijadikan standar kelulusan dalam menempuh pendidikan khususnya pendidikan tingkat menengah. Sebenarnya sangat tidak adil apabila kelulusan hanya ditentukan dengan Ujian Nasional, karena bagaimanapun juga siswa telah menempuh pendidikan selama tiga tahun dengan berbagai mata pelajaran, tetapi semua hanya ditentukan dengan UN, dengan beberapa mata pelajaran yang dinilai ketetapan standar minimalnya.
Standar kelulusan untuk tahun 2008/2009 untuk tingkat SMA/MA dan SMK adalah 5,50 dengan tidak ada nilai dibawah 4,50, apabila ada salah satu mata pelajaran mendapat nilai 4,25 maka nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,25 (tw tabloid kabar kampus 06 April 2009). Jumlah mata pelajaran yang semula tiga mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran. Pertanyaan besar muncul. Dengan UN seperti itu apakah sekolah benar-benar layak disebut sebagai lembaga pendidikan? Apa kriteria kelulusan pendidikan hanya diukur dari segi segi kognitif (intelektual belaka)? Lalu dimana letak nilai agung pendidikan? Moralitas, kejujuran, kedisiplinan, tangung jawab, dll? Disinilah kiranya kita dapat menentukan format evaluasi pendidikan yang benar-benar sesuai, sebuah format evaluasi pendidikan yang berorientasi efektif.
Bila kita lihat UN tahun lalu banyak sekali siswa yang tidak lulus UN. Tidak sedikit siswa yang gagal itu adalah siswa berprestasi, hanya karena nilai UN-nya yang jeblok. Tetapi pada sesungguhnya dia adalah anak yang rajin, berkepribadian baik bahkan berprestasi. Semua itu sama sekali tidak dijadikan bahan pertimbangan untuk kelulusan, hanya melihat nilai UN saja. Kalau nilai tidak memenuhi standar maka dia sudah dinyatakan tidak lulus. Hal itu sangatlah tidak adil bagi mereka.
Para peserta yang tidak lulus ujian nasional yang tidak bisa memenuhi standar nilai kelulusan 4,25 ada beberapa yang nekat bunuh diri, ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekolah sendiri. Berita lain, SMK Negeri 1 Cilegon diharuskan mengulang UN karena ditemukan bukti ada Jockey UN, serta ada peserta yang ingin melukai gurunya (Kompas, 22/6/2007) mengapa itu terjadi? Pemicunya adalah tidak relevan.
Semua hal tersebut di atas bukan berarti menunjukkan bahwa UN tidak penting dan tidak perlu dilaksanakan, akan tetapi disinilah perlunya kita mensinergikan antara pentingnya UN, hakekatnya pendidikan dan keadilan bagi siswa. UN sebagai format evaluasi yang dilaksanakan secara nasional tetap penting untuk dilaksanakan sebagai upaya pemetaan dan alat diagnosa mengenai pendidikan nasional, khususnya persebaran mutu dan kualitas untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Berdasarkan hal tersebut maka UN bagaimanapun baik untuk dilaksanakan tetapi bukan dijadikan standar kelulusan. UN hanya dijadikan salah satu aspek penilaian kelulusan saja. Penilaian kelulusan siswa harus dilihat secara menyeluruh dengan pertimbangan prestasi dan sikap siswa selama menempuh pendidikan di sekolah sela tiga tahun, sehingga peran sekolah dalam hal ini guru mempunyai porsi tanggung jawab yang sangat besar.
Jika hal tersebut dapat dilaksanakan diharapkan evaluasi pendidikan benar-benar dapat dijadikan tolok ukur prestasi dan kemampuan siswa. Hal-hal negatif seperti ketidak jujuran (siswa, guru, orang tua), ketakutan dll benar-benar tidak terjadi dalam proses evaluasi pendidikan. Harapannya evaluasi pendidikan tidak menjadi “HANTU” yang menakutkan bagi siswa, guru dan semua pihak yang terkait. (tw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar