AKSI PENDIDIKAN 2 MEI
BEM SELURUH INDONESIA
“RE-ORIENTASI PENDIDIKAN NASIONAL serta WUJUDKAN PARLEMEN DAN PEMERINTAHAN PEDULI PENDIDIKAN”
Pendidikan nasional hingga saat ini tetap belum mampu mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945 dan UU Sisdiknas, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta menciptakan pemerataan dan keadilan sosial di seluruh masyarakat Indonesia dan terselenggaranya pendidikan secara demokratis yang menempatkan peran serta masyarakat dalam proses pendidikan di Indonesia. Maka, re-orientasi Pendidikan Nasional harus dilakukan.
Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah pendidikan Indonesia dapat dikategorikan dalam dua masalah. Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan sistem pendidikan. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan dengan aspek praktis atau teknis yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, dan sebagainya.
Anggaran 20% pendidikan di Indonesia terancam mengalami penurunan pada tahun 2010 sebesar 11,7 triliun. Walaupun secara presentase masih berkisar 20,6 persen dari 21% anggaran di tahun 2009. Keputusan MK Nomor 24/PUU-V/2007 terkait dengan penyusunan anggaran pendidikan APBN dan APBD, memasukkan gaji guru dalam alokasi 20% anggaran tersebut. Ini merupakan penelikungan dari semangat peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah.
Kontroversi Ujian Nasional (UN) sebagai sistem evaluasi pendidikan berbasis nasional belum menemukan simpul penyelesaian. Kurikulum KTSP yang menghendaki otonomi tingkat satuan pendidikan tidak sinkron dengan Ujian Nasional (UN) sebagai sistem evaluasi berbasis nasional. UN ibarat tiang gantungan yang menahan laju pendidikan nasional. Bagaimana mungkin mengedepankan otonomi ketika sistem evaluasinya tetap berbasis nasional (tidak mengindahkan otonomi sekolah/satuan pendidikan)? Serangkaian tes kelulusan selain UN yang mengatasnamakan otonomi sekolah (misal, UAS, uji kompetensi, tes akhlak, dsb), sama saja tidak berguna ketika UN tidak lulus. KTSP tidak sama dengan UN. Inilah bukti pemerintah tidak konsisten dalam menggulirkan kebijakan pendidikan. Selain itu, benarkah alat test UN sudah menjadi indikator sebagai variabel dominan dalam keberhasilan siswa di sekolah yang lebih tinggi?
UU BHP yang baru di sahkan 17 Desember 2008 yang lalu juga menuai kontroversi baru. Ada 27 pasal yang bermasalah, menurut hasil konfrensi BEM SI di Yogyakarta. Apabila BHP menjadi kenyataan, maka dipastikan komersialisasi pendidikan tidak bisa lagi dihindari. Pendidikan biaya tinggi sudah barang tentu menjadi sebuah keniscayaan, sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan. Hal ini juga semakin menunjang pemberlakuan otonomi perguruan tinggi yang boleh dinilai gagal.
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dengan ini menyatakan sikap:
1. Tolak UU BHP
2. Evaluasi sistem penentu kelulusan pendidikan, yang menjadikan UN sebagai salah satu parameternya.
3. Realisasikan pendidikan terjangkau bagi rakyat sebagai amanat TUGU RAKYAT.
4. Tolak penelikungan anggaran 20% pendidikan (gaji guru jangan dimasukkan dalam anggaran 20%).
Yogyakarta, 2 Mei 2009
Koordinator Bidang Pendidikan
BEM Seluruh Indonesia
Presiden Mahasiswa BEM REMA UNY
Pidi Winata